PART 5

1.8K 238 10
                                    

Cklekkk ...

Pintu kamar terbuka, masuk gadis kecil berlari ke arah ranjang dengan tawa riang.

"Masyy Yayaaa. Mam. Yuuukk ...."
Bibir kecilnya maju beberapa senti saat mengatakan kata ajakan itu. Sikunya bertumpu pada ranjang. Melihat masnya yang masih tertidur dengan posisi menghadap ke arahnya, baru membuka mata karena mendengar suara lucu adiknya. Helra tersenyum.

"Mawmaw naik sini, bobo sama Mas."

Mauren menggeleng. "Nggak, Maw mau Mam. Ayuukk Masy Yayaaa. Ayuukkk ... mam."

Bibir kecilnya yang meruncing ke depan itu, membuat Helra merasa gemas maksimal. Helra bangun, terduduk di ranjang.

"Sini dulu Mawmawnya. Mas peluk."

Mendengar kata peluk, Mauren mengangkat kaki, naik ke atas ranjang yang tak terlalu tinggi. Langsung memeluk masnya. Helra Mendekap tubuh mungil itu yang wangi minyak telon, menghangatkan.

"Maw sayang Masy yaya," ucap Mauren  dengan nada polos, tapi jujur, khas anak kecil. Helra tersenyum. Tumben sekali Mauren semangat memeluknya,
biasanya jika Helra peluk dia akan berontak.

"Mas juga sayang Mawmaw."

Helra semakin memeluk erat sang adik.
Rasanya Helra tak bisa membayangkan, jika bayi ini tak hadir di keluarganya.
Pasti garing banget.

--

"Naek kleta api tut-tut-tut ...."

Di gendongan punggung sang kakak,
Mauren bernyanyi.

"Siapa hendak turun ...," Helra melanjutkan.

"MAWMAW." Mauren mengacungkan tangan, berteriak nyaring kemudian tertawa, melanjutkan nyanyian seiring langkah masnya yang menuruni tangga.

Tera dan Helmi yang sudah ada di meja makan, saling lirik, tersenyum melihat kedua putra-putrinya. Tadi Helmi yang membawa Mauren ke atas, dia yang membukakan pintu kamar Helra, meminta tolong kepada bungsunya itu untuk membangunkan Masnya. Karena kata Tera ... Helra lagi ngambek, dari kecil kalau ngambek biasanya dia tak mau makan. Untung saja sejak punya Mauren mereka punya senjata ampuh.

Helra menurunkan Mauren di kursinya.
Batita itu sudah dibiasakkan makan sendiri. Tanpa melirik kedua orangtuanya, Helra duduk.

Tera menyiapkan nasi untuk Mauren dan Helmi. Helra mengambilnya sendiri.
Dalam porsi sedikit kemudian
menyuapnya dengan enggan, seperti tak ada nafsu makan.

"Mas Yaya mau ibu suapin? Mawmaw aja makan sendiri lahap lho."

"Nggak," Helra menyahut datar tanpa menoleh pada sang ibu.

Tera menatap lama putra sulungnya, yang ditatap pura-pura acuh. Membuat Tera tersenyum gemas. Anak bujang ambekan. Tera mah santai, lagian mas Yaya kan kalau ngambek gak pernah lama.

--

"Mas Yaya sini deh."

Helra mendecak, tak jadi menaiki tangga,
dia berbelok menghampiri ayahnya yang lagi duduk di sofa depan TV.

"Mukanya cemberut mulu," goda Helmi.

Helra duduk di sofa. "Ibu tuh," sahutnya pelan. Tak bermaksud mengadu hanya memberitahukan penyebab badmoodnya.

"Iya, Ayah tahu. Ibu udah cerita."

Helra melirik Helmi. Pria paruh baya yang berkaca mata yang selalu humble dan berjiwa muda.

"Terus Ayah ngikut ibu, atau Aku?"

"Ck, gikut-ngikut apa? Ayah di sini tuh kepala keluarga, Ayah yang memutuskan," katanya sok tegas. 23 tahun jadi anak ayahnya, Helra sudah hapal sang ayah, orangnya terlalu santai, tidak ada tegas-tegasnya, tidak pernah terlihat keras. Terlalu baik.

HeYya (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang