PART 6

2.1K 275 31
                                    

"Bu, eh ... Mawmaw kenapa? Sak--"

"Mas Yaya diem di situ."

Helra menghentikan langkah, bibirnya terkatup. Ibunya sedang memangku Mauren di lantai bawah. Adiknya itu tampak lesu, kepalanya terkulai di bahu Tera, plester penurun demam menempel di keningnya. Beberapa kali juga terlihat terbatuk.

"Mawmaw lagi demam sama batuk, Mas Yaya pake masker sana."

"Ya Allah Bu, yakali harus sampe pake masker segala. Mawmaw mau mam apa? Mas beliin ya." Helra mengayunkan kaki mendekat, tak peduli pada ucapan sang ibu.

"Mas Yaya!" Tera memanggil dengan sentakkan.

"Ambil dikamar ibu," titahnya kemudian dengan tegas. Dalam sorot mata Ibunya tersirat pengancaman. Helra tak berani membantah kalau sudah begitu, nanti gak dikasih jajan. Dengan dengusan pelan, Helra melangkah kembali menaiki tangga.

Tera mengembuskan napas panjang.
Mengelus-elus punggung putrinya yang terserang demam sejak semalam.
Kasihan sekali putri kesayangannya.
Tapi untungnya Mauren kalau sakit tak pernah lama, cukup dengan obat-obatan apotek biasa, demamnya pasti langsung turun, batuknya juga paling hanya sehari dua hari. Beda kalau Helra yang kena,
lebih-lebih dari bayi, dia itu kalau sakit lama, merambat kemana-mana.



"Bu, mau keluar dulu ya, nemuin temen bentar." Helra dengan masker diturunkan menghampiri ibunya yang lagi duduk di sofa dengan Mauren yang duduk dipangkuannya, menyandarkan kepala pada dada Tera. Sore ini Demam Mauren sudah reda, tinggal lemasnya saja. Terbukti, kan ? Mauren itu kalo sakit tak pernah lama.

"Kemana?" tanya Tera.

"Indomart depan."

"Jajannya ambil sana di dompet ibu."

"Gak usah, ada kok. Kasian banget adek Mas sakit, nanti Mas pulang bawa jajan ya." Helra mencium cepat pipi adiknya.
Tera menggeram tak sempat mencegah.
Nakal banget. Nanti kalau dia ikutan sakit, Tera bisa dibuat uring-uringan lebih dari ini. Helra tersenyum lebar.

"Assalamu'alaikum," pamitnya meraih tangan Tera, mencium kilat.
Lalu pergi dengan kunci mobil di tangan.
Lagi males bawa motor, lagian Tera memang tidak terlalu setuju kalau Helra ke mana-mana pake motor.

--

" Gue sebenernya udah gak nyaman sih, Ra. Kalo nongkrong sama anak-anak banyakan."

"Hm, napa?"

Sudah ada tiga puluh menit, Helra duduk berdua di depan Indomaret dengan salah satu anak tongkrongannya di SMA dulu.
Panji namanya, lelaki bertubuh tinggi tegap itu meneguk kopi kaleng lalu mengunyah cemilan, ingin merokok sebenarnya, mulutnya gatel banget, tapi di depan Helra yang tak pernah suka asap rokok, dia selalu menghargai.

"Kita kalo nongkrong udah gak asik, semuanya ngomong cuma buat sombongin diri sendiri, gak ada saling denger saling cerita. Mereka jatohnya gak mau kalah berbangga diri."

Helra mengangguk-angguk saja sambil ngemilin keripik singkong. Panji yang udah punya posisi tinggi di sebuah perusahaan saja merasakan begitu.
Apalagi dia yang kalau nongkrong cuma bisa menanggapi dengan respon kagum dan senyum tipis pada keberhasilan teman-temannya.

"Cuma nongkrong sama lo, yang masih bikin betah," kata Panji.

Membuat Helra tertawa.

"Yaiyalah, gue apa yang harus di sombongin. Kampret lo."

Panji terkekeh. "Gue yakin orang sebaik lo pasti suatu saat nanti dapet balasan yang baik, belum saatnya aja, Ra," katanya, terdengar tulus.

Helra mengangguk. "Semoga," ucapnya,
tersenyum kecil.

"Eh ngomong-ngomong adek lo udah segede gimana? Kangen dah gue, udah lama gak ke rumah lo. Dulu malu-malu banget. Beda banget sama Abangnya yang gak tahu malu."

Helra mendelik, menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan bumbu-bumbu keripik yang menempel.
Maaf dia bukan tim jilat, dilarang keras sama ibu Tera.

"Kerumah dong lu, adek gue tambah gemes asal lo tahu, mirip abangnya. Eh, udah sore nih, Ji." Helra menyalakan handphone.

"Balik dah gue," katanya.

Panji melirik jam tangannya.
"Baru jam 4, Ra."

"Ya tetep aja, kalo kelamaan nongkrong, gue kena semprot tar."

"Nyokap lu masih seover itu?"

Helra meneguk air mineral dingin,
mengangguk.

"Kan gue anak emas," sahutnya dengan senyuman bangga sembari mengelap sisa air di bibir.

Panji mendecih. "Tar gue kabarin kalo ada loker."

"Okayy, makasih Ji. Gue mau beli jajan dulu deh buat adek gue."

"Mau ikut dong, sekalian gue beliin. Boleh, kan?"

"Bolehlah. Abangnya juga sekalian dibeliin boleh kok."

"Nggak ah, buat adek nya aja."

"Cihh."

Melihat mata mendelik Helra yang khas,
Panji tertawa, merangkul temannya itu masuk ke dalam supermarket.

HeYya (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang