PART 7

2.3K 285 30
                                    

"Mas Yaya jujur sama Ibu kemarin makan apa?"

"Ya masakan Ibu."

"Nggak, bukan itu. Pas kamu keluar."

Dengan matanya yang merah dan berair,
Helra menatap ibunya, takut-takut.

"Keripik singkong," sahutnya pelan.

Ekspresi Tera mendatar.

"Minumnya?" Alis ibunya itu naik.
Menunggu jawaban dengan raut mencekam.

"Air mineral." Helra serasa menciut.

"Dingin?"

"Paan sih bu, nanya mulu. Udah tahu suara Mas Yaya ilang," Helra menyahut jengah. Dia mau marah duluan. Supaya ibunya yang menciut duluan, jadi tidak jadi memarahinya. Suara Helra memang hampir hilang. Entah kenapa, tiba-tiba tadi malam badannya terasa panas dan tenggorokannya sakit. Pas bangun tidur suaranya hilang.

Tera menghela napas kasar. Mau marah kasihan. Tangannya menyentuh kening, wajah, dan leher Helra, bergantian dengan punggung tangan.

"Gak turun-turun demamnya."

Helra mengernyit setiap kali menelan ludah.

"Tenggorokannya juga makin sakit, Bu,"
keluhnya. Mengeluarkan suara dengan susah payah.

"Amandelnya meradang lagi pasti. Mas Yaya sih, kan Ibu udah bilang jangan ngemil yang aneh-aneh. Mawmaw baru sembuh, kamu sakit." Embusan napas panjang keluar dari mulut Tera. Untuk kesekian kali.

"Ibu titip Mawmaw dulu deh ke bu Ida, ayah lagi sibuk gak bisa pulang cepet, ke rumah sakitnya  sama ibu aja."

"Gak mau." Dengan tampang sekacau ini,
Helra masih berani menolak. .

Tera tetap beranjak tak mempedulikan penolakan itu, Mauren tadi sedang tidur.
Keputusannya untuk tidak memiliki assisten rumah tangga kadang disesali di saat seperti ini. Untung saja tetangga samping rumah baik hati, dia selalu dengan senang hati jika dimintai tolong untuk menjaga bungsunya. Siapa yang bisa menolak coba dititipkan Mauren yang menggemaskan dan tak pernah menyusahkan. Bayik lucu yang baik.

--

"Mas yaya bangun yuk."

Setelah selesai menitipkan Mauren ke tetangga. Tera memasuki kamar Helra kembali. Dengan hati tak tega juga, tadi Tera mengganggu si bungsu yang tengah tertidur pulas, menggendongnya yang masih linglung, dan memberikan pengertian untuk ditinggal sebentar olehnya. Untung Mauren tidak menangis.
Dia mengecup pipi Tera dan berucap hati-hati sebelum Tera pergi.

"Pusing." Helra mengernyit dalam.
Sendi-sendi di tubuhnya terasa pegal,
kepalanya pusing, badannya panas,
tenggorokan nya sakit, Dan suaranya serak parah. Padahal kemarin cuma nongkrong bentar makan cemilan sama es, efeknya gini banget.

"Berobat ayuk. Mau sakitnya ilang nggak??"

Ya maulah. Helra mendengus pelan.
Dia mengangkat kepalanya yang terasa berat, tubuhnya yang pegal-pegal.
Kayak habis nguli. Helra buka mata sedikit. Mendesis, dan meringis,
Saat menelan, tenggorokannya semakin nyeri. Tera membungkus tubuhnya dengan selimut. Entah sejak kapan kaki Helra sudah dibalut kaos kaki.
Pelan-pelan ibunya membantu Helra menurunkan kaki.

"Gak enak banget, Bu," keluhnya lagi.
Sebelah matanya memejam erat.
Mulut keringnya terus mengeluarkan ringisan. Terbukti kan apa kata Tera.
Helra kalau sakit bisa lebih bikin uring-uringan, mana meringis mulu bikin khawatir.

"Bu gak kuat jalan," katanya.

Tera menghela napas. Helra kalau sakit emang dirasa-rasa. Tapi Tera tak bisa protes, mungkin itu karena dia yang selalu terlalu memanjakannya sejak kecil, jadi salah Tera juga.

"Yaudah deh. Ibu telepon aja dokternya biar ke sini." Tera mengambil handphone, menelepon dokter komplek.

"Buu ..."

Baru saja selesai menelepon. Matanya menoleh ke Helra yang masih dalam posisi duduk dengan kaki menjutai menapak lantai. Matanya terpejam, meringis.

"Tiduran lagi deh, Mas."

Tera membantu menaikkan kaki Helra ke ranjang, membantunya berbaring kembali.

"Maafin Mas Yaya yah Bu, sampe usia sekarang masih bikin Ibu repot terus,"
ucap Helra. Tera yang sempat merasa kesal, jadi merasa menyesal.

"Makanya yang nurut sama Ibu. Kamu dari kecil nakal terus, gak nurut sama Ibu. Kan Ibu juga gak mau Mas Yaya sakit terus. Vitamin nya tetep diminum, Ibu liat di botolnya masih banyak. Gimana mau kuat badannya. Masa kalah sama Mawmaw."

Helra terdiam. Dia tahu ibunya hanya mengkhawatirkannya. Tapi kalimat yang mengandung makna membandingkan dengan siapa pun itu, selalu memberikan sengatan kecil pada hatinya. Mungkin karena dari kecil orangtuanya selalu menganggap Helra segala-galanya,
semakin beranjak dewasa Helra mulai menyadari dan semakin menyadari, sebenarnya hidupnya tidak begitu berguna. Malah jika dikilas balik, tidak pernah punya nilai guna.

Hanya dianggap berharga karena satu-satunya karena kedua orang tuanya tidak akan bisa lagi punya Helra yang lain. Dan sekarang ibu punya Mauren,
lambat laun sepertinya sang ibu mulai muncul pikiran yang sama dengan Helra.
Kalau Helra tidak punya nilai apa-apa.

"Nah bel, pasti bu dokter. Ibu ke bawah dulu ya."Tera beranjak keluar kamar saat bel rumah berbunyi.

Helra ingin memikirkan lebih lanjut tentang dirinya, tapi pening di kepala seakan menyuruh untuk berhenti.
Yasudahlah, pikirin besok lagi aja.

--


"Buka sayang buka."

Mendengar suara, Helra terbangun.
Lewat segaris kelopak matanya yang terbuka, tampak Mauren yang berjalan riang naik ke atas ranjangnya diiringi kata hati-hati dari Tera.

Mauren jelas tidak akan kenapa-kenapa jikapun berdekatan dengan Helra yang sedang sakit. Tera biasa saja, malah selalu mengajak Mauren untuk menemani Helra yang sakit. Tak seperti kemarin saat Mauren sakit, Helra dilarang keras untuk mendekat.

"Massyyy ..."
Mauren langsung membaringkan tubuh memeluk pinggang Helra yang berbalut selimut.

"Gimana udah mendingan?" tanya Tera.

Helra mengangguk. Kepalanya sudah tidak sepusing tadi, dan saat dicoba menelan ludah pun, sakit di tenggorokannya sudah lumayan berkurang. Tera mengecek keningnya.

"Makan dulu, bangun dikit, bisa?Mawmaw lepas dulu sayang. Mas Yayanya biar bangun."

Mauren melepas pelukan, dia mendongak menatap masnya. Helra menarik tubuh naik. Bersandar pada headboard.

"Sini."

Melihat Helra yang membuka tangan.
Mauren bangun dengan senyum lebar.
Ikut bersandar pada bantal, duduk menempel pada masnya.

"Mawmaw mam lagi gak?" tanya Tera.

Anak kecil itu menggeleng. "Dah, kenyang. Masy mam, Ibu suapin," katanya gemas.

Tera tersenyum, menyuapkan sesendok sup dengan nasi pada Helra. Sebelah tangan Helra memeluk tubuh adiknya.

"Tadi Maw Mam banyak gak?" tanyanya pada si adik kecil. Tapi karena suaranya yang masih serak, sepertinya Mauren jadi tidak begitu mendengar. Kepalanya mendongak, dengan kening mengkerut menatap Helra.

"Masy sakit. Jangan ngomong, mam aja,"
ucapnya.

"Nanti ibu buatin jahe dikasih gula aren, biar enak tenggorokannya."

"Buu ... Masy bawa doktel suntik," kata Mauren. Tera terkekeh kemudian mencium gemas pipi putrinya.





--------tbc-------)))))))))



Spilll dong ada PT yang buka loker gak si daerah kalian.. ??????

Nanti kukasih bonus,

Ada cerita baru..
Walau yang lain belum end..

HeYya (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang