1

108 8 26
                                    

Noted : Halo gais, aku bawa cerita baru, disini aku bahas tentang perkuliahan ya, mohon dikoreksi kalo banyak yang salah karena aku juga masih sekolah menengah. Oh iya, di cerita ini enggak ada corona ya, jadi aku buat offline. Dan nanti misalnya feel kuliahnya nggak sampai kalian ngomong ajaa, nanti aku usahain  buat revisi.

Selamat membaca teman-teman, jangan lupa vote dulu sebelumnya, wkwk.

.

Suasana papan mading di lobi kampus terlihat ramai, sesak, aku berdiri di bagian belakang, mencoba peruntungan untuk ikut berdesakan supaya bisa melihat adakah namaku atau tidak.

Lima belas menit terdesak, bergeser kesana-kemari, sekarang aku sudah berdiri di depan papan, mencari namaku dari daftar paling bawah jurusan Psikologi.

3. Jesna Ivanka.

Yang justru berada di urutan nomor tiga dari 200 orang.

Setelahnya aku berbalik, kembali berdesak-desakan mencoba keluar, yang seharusnya lebih mudah dari pada mencoba masuk, tetapi ternyata sama susahnya, berdesakan ditengah orang-orang yang hendak.

Aku menarik nafas setelah berhasil keluar dari lingkaran kerumunan yang menyesakan, membuat dahiku sedikit berkeringat.

"Eh, Nana, gimana? Lolos?"

Suara Serly, teman seperjuangan ku terdengar, aku bergegas mendekatinya yang berada dalam jarak dua meter dari ku.

Aku tersenyum, mengangguk seraya berucap syukur. "Kalo lo gimana? Lolos juga?"

Serly tersenyum semakin lebar, membuat matanya menyipit seperti bulan sabit, "Iya dongg, keterima di pilihan pertama, yeyy."

Aku tertawa, turut senang atas diterimanya sahabatku di fakultas kedokteran impiannya.

Setelah mengobrol banyak hal dengan Serly, aku memutuskan untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul 4 sore sekarang, jalanan kota masih padat dengan suara klakson yang bersahutan, menyenangkan seharusnya melihat kendaraan di salah satu sisi dari perempatan ini berhamburan bagai debu yang ditiup, lalu suara kenalpot juga klakson yang menjadi backsound seolah menyuarakan kelegaan atas keluarnya mereka dari penjara lalu lintas.

Aku menyeka dahiku, kata seharusnya memang terdengar indah tetapi nyatanya cuaca panas bercampur polusi udara sama sekali tidak terasa menyenangkan sedikit pun.

Aku mendongak, sedikit menyipit karena mataku silau oleh sinar matahari yang seolah belum berniat menurunkan derajatnya, memandang detik siklus traffic light yang masih menunjukkan detik 57.

Aku menghela nafas, memperhatikan sekitar, wajah-wajah lelah yang tergambar jelas membuat ku tersadar, jika aku tak sepantasnya berdecak seraya menggerutu dalam hati, menyuarakan kesal kepada diri sendiri karena tertahan lampu merah yang masih senantiasa menunjukkan eksistensi.

Saat traffic light berubah kuning lalu dua detik kemudian berubah hijau, saat itulah suara-suara kelegaan yang diutarakan lewat tarikan pedal gas, juga klakson-klakson yang sepertinya wajib untuk mengikuti, bergegas meninggalkan tempat pemberhentiannya masing-masing.

Aku yang menyetir motor sendiri lantas dengan sigap ikut menarik gas, bergegas meninggalkan belakang traffic light sebelum warnanya kembali berubah merah.

Tidak lama setelah itu, aku sampai di rumah, membuka pintu dan disambut oleh suara air, juga suara sikat yang beradu dengan pakaian.

Aku segera menuju ke kamar mandi samping dapur, tempat suara berasal.

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang