4

44 5 27
                                    

"Nanaaaaa!"

Teriakan Serly terdengar hingga radius 5 meter, aku berbalik terkejut, mahasiswa disekitar juga menoleh ke arah Serly yang tengah berlari.

Aku hanya diam menunggu Serly tiba, dengan nafas yang ngos-ngosan serta peluh yang mengalir, Serly akhirnya tiba di depanku.

"Sini cepet."

Aku tidak tau kenapa Serly harus menarikku buru-buru, menuju ke lorong laboratorium yang sebenarnya jauh dari kelasku, tetapi juga jauh dari keramaian.

Serly terlihat membuka ponsel, lagi-lagi terlihat buru-buru.

"Jelasin ini apa, cepet!"

Aku lalu mengambil ponsel Serly, astaga, lagi-lagi fotoku terpajang disana, ketika aku tengah berdiri didepan Kak Davin yang tengah duduk, seraya aku memegangi tangannya.

"Ini siapa sih yang ngefoto, nggak tau apa itu privasi kali ya, dasar, bisanya cuman ngasih foto-foto nggak jelas yang bikin orang berprasangka, udah dua kali loh, yang ngirim harusnya kena pasal itu, lagian untungnya apaansih, heran deh gue, nggak habis pikir."

Aku mulai mengomel panjang, Serly di depanku tampak melongo.

"Yaampun Nana-nya gueee, jangan ngomel-ngomel gituu, seremm." Serly bergidik, lagi-lagi hiperbola.

Ini adalah hari pertamaku datang bulan, dan titik sensitivitas ku seolah melonjak naik, hingga tanpa sadar aku mengomel.

"Inget, Na, lo mahasiswi Psikologi bukan Hukum, pake bawa-bawa pasal segala."

"Ya tapi kan bener, itu ganggu ketenangan gue tau."

Karena menyaksikan aku yang marah-marah, Serly tidak jadi meminta penjelasan, dia memilih mengajakku untuk menuju ke kelas.

Dalam perjalanan menuju kelas Psikologi Dasar, tak sedikit bisik-bisik yang tidak bisa disebut bisikan itu terdengar di telingaku, aku hanya bisa menggerutu dalam hati, akan aneh jika aku marah-marah di tempat umum sendiri.

Suasana kelas tampak ramai tetapi santai, entah ini sebuah kebetulan yang menyenangkan atau mengesalkan karena dosen tampaknya berhalangan hadir, diberitahu lima menit lalu setelah jam dimulai, dan yang lebih mengesalkan lagi tugas esai yang dikirimkan sore nanti.

Aku tengah membaca buku, sebuah novel yang dari semalam membuatku sebal, dan juga gigit jari saking bagusnya, membuat ku berpikir, otak penulisnya terbuat dari apa ya, sampai-sampai dialog juga cerita-ceritanya tampak nyata dengan frasa yang tak biasa.

"Bukannya udah putus, ya?"

Suara salah satu teman kelasku terdengar, kebetulan aku duduk di antara mereka, sesekali menimpali jika ditanya meski mata masih tertuju pada buku yang terbuka.

"Ih, belum tauu, beberapa bulan lalu emang sempet putus katanya, tapi balikan lagi, eh baru jalan tiga Minggu cowoknya udah selingkuh, dan Rena mau-mau aja dijadiin selingkuhan."

"Lo tau dari siapa emang?"

"Dia cerita sendiri sama gue kemarin waktu ngumpulin makalah, katanya 'ya gimana ya, Ra, gue udah terlanjur cinta'. Halah cinta dari hasil ngerebut juga enggak baik."

"Terus sekarang kelanjutannya gimana?"

"Katanya sih—"

"Eh orangnya dateng," teman ku yang duduk di depanku melirik pintu dengan panik, lantas yang duduk di seberangnya dengan santai mengalihkan topik, seolah sudah terbiasa.

"Enak tau, pemandangan nya juga enak, apalagi kalo diatapnya kafe."

Tidak ada nyambung-nyambungnya sama sekali dengan topik awal, dan itu malah membuat objek yang dibicarakan, yang sekarang sudah duduk di bangku depan temanku yang barusan berbicara itu tidak curiga sama sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang