Kegiatan ospek selalu menjadi hal yang mendebarkan bagi setiap mahasiswa baru, perlakuan yang menjunjung tinggi senioritas itu ditutupi dengan id card yang berisi identitas panitia, membuatnya bisa semena-mena, melakukan apa saja kepada maba selagi tergabung sebagai panitia.
Kegiatan itu berlangsung selama satu Minggu, dalam suatu hari ketika kami di suruh meminta tanda tangan kating panitia, aku tidak sengaja bersenggolan dengan orang di sebelahku, dia tidak sadar karena tempatnya berkerumun, tetapi aku yang menabrak hingga membuat bolpoin gel dengan tinta penuh itu terjatuh, jelas saja menyadari, aku buru-buru memungut bolpoin tersebut, mengejar mahasiswa dengan kemeja putih yang dimasukkan sebelah kedalam celana kain hitamnya.
Diantara maba-maba yang berpencar mencari kating yang akan dimintai tanda tangan, aku sedikit berjinjit, tidak sulit menemukan laki-laki tadi karena tinggi badannya membuatnya bisa ditemukan dengan mudah meski dalam keadaan berdesakan seperti sekarang.
Aku menemukannya ketika dia tengah mengobrol akrab dengan salah satu kating laki-laki dengan antrian perempuan yang meminta tanda tangan lumayan panjang, fokus ku bukan untuk meminta tanda tangan, fokus ku lebih ke arah maba dengan warna pakaian yang sama seperti ku, yang berdiri di sebelah kating yang aku lupa — tidak tau— namanya.
"Eh antri dong!" Salah satu mahasiswi baru berseru saat melihatku menerobos antrian begitu saja.
Aku berbalik. "Maaf, gue nggak mau minta tanda tangan Kakak itu kok, gue duluan ya."
Melanjutkan langkah lagi meski aku masih mendengar desisan tidak percaya dari maba-maba yang didominasi perempuan di sekitarku.
Sesampainya aku disamping mahasiswa baru tadi, aku segera menegurnya, sedikit bingung hendak memanggil seperti apa. "Mas, eh, emm.."
Maba itu menoleh ke arahku, sedikit menunduk, lalu alis tebalnya terangkat sebelah.
Aku mengulurkan bolpoin miliknya. "Ini bolpoin punya lo, tadi jatuh waktu gue nggak sengaja nabrak lo, maaf ya."
Laki-laki itu menerima uluran bolpoin dariku, tersenyum tipis seraya mengangguk. "Makasih ya."
Aku ikut tersenyum, "maaf ya sekali lagi." Lalu setelah itu melenggang pergi, baru sadar jika saking fokusnya aku mengejar laki-laki itu, aku sampai tidak sadar jika aku belum mendapat satupun tanda tangan.
Aku buru-buru menghampiri salah satu kating perempuan, berhijab, terlihat ramah.
"Kak, boleh minta tanda tangan?"
Lalu aku tidak tau apa yang salah, sampai kakak tingkat yang kukira ramah itu berlalu pergi begitu saja, sebelum sempat memberikan tanda tangannya kepadaku.
Aku terdiam, bingung sendiri ketika kating-kating perempuan lain juga melakukan hal yang sama, dan aku baru mendapatkan dua tanda tangan, dari kating perempuan berwajah judes yang dengannya maba takut meminta, dan dari kating laki-laki dengan kacamata minusnya.
Bahuku tiba-tiba ditepuk, oleh kating yang tadi mengobrol akrab dengan laki-laki yang aku kembalikan bolpoinnya, dia tersenyum, kemudian mengambil buku tulis yang setengah aku peluk, kemudian menandatanganinya, lalu pergi begitu saja.
Aku melongo, belum sempat aku berterimakasih, punggung kating yang namanya tertulis di bukuku itu sudah hilang ditelan keramaian.
Syaratnya cukup mudah, hanya minimal harus mendapatkan tiga tanda tangan. Mungkin bisa saja aku mendapat lebih jika saja para kating-kating yang saat ini berbaris didepan tidak melengos begitu saja ketika aku menghampiri mereka.
Pukul dua siang, ospek resmi selesai, kegiatan 'menyiksa' yang terjadi selama satu Minggu itu telah berakhir.
"Lo tadi dapet tanda tangan berapa, Na?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara
Teen FictionDi antara banyaknya tempat singgah di dunia, lantas kenapa kamu lebih memilih tinggal dalam sempitnya ruang di kepala? Di antara banyaknya tempat peraduan, lalu kenapa kamu memilih mengutarakan pada heningnya malam yang bahkan tidak mampu mendengar...