Kara meraih ponsel di meja, lalu memainkan sebuah game. Meski dikenal sebagai laki-laki yang berkencan dengan buku membuatnya tetap menyukai game. Hampir setiap malam setelah belajar ia menggunakan waktunya untuk bermain.
Suasana hening sebelumnya berubah menjadi penuh makian. Zoeya menghela nafas, menahan kesal karena sudah diabaikan kekasihnya itu dan sekarang ketenangannya diganggu. Ia tidak bisa fokus pada buku bacaan. Makian Kara sangat menganggu!
"Taeee. Itu orang ngapain coba," maki Kara.
"Tai kambing ini pemain noob, astagafirullah. Bersoda. Tapi dia cocok jadi kayak gitu," lanjutnnya.
Mendengar makian itu, Zoeya menutup bukunya kasar dan melotot kearah Kara. Sang pelaku tidak merasa bersalah, lalu tetap memainkan game yang membuat Zoeya memukul bahunya kencang.
Plakk
"Ga usah maki-maki. Main yang kalem kenapa sih," ujar Zoeya kesal.
"Aku kalem, Sayang. Kalau ga percaya tanya aja pak ustadz," balasnya santai.
"Berhenti, deh. Katanya mau belajar bareng,"
"Aku kesal nih."
Tidak-tidak ini siaga satu. Sebentar lagi akan ada drama burung mengicau sepanjang waktu. Laki-laki berusia 18 tahun itu akan mengadukan sesuatu padanya. Entah tentang orang tua atau abang kesayangannya.
Ini yang spesial dari Kara. Ia selalu jujur dalam segala hal bahkan untuk warna celana dalamnya. Aneh, tapi begitulah Kara.
"Kemarin abang dari Perancis dia beli banyak barang mewah. Terus aku tanya deh, oleh-oleh aku mana? Terus dia ga jawab juga. Aku panggil gini, abang? Abang? Abang gantengg? Tapi ga jawab juga."
"Abang itu budeg kayaknya. Aku kemarin minta Papa buat bawa dia ke THT." lanjutnya.
"Kamu ga mengecek kopernya?" tanya Zoeya.
Kara hanya menggeleng. Tangannya ia lipat di meja lalu menenggelamkan wajahnya. Ia kesal lagi saat mengingatnya. Huh, semalam Papa juga tidak membantunya menemukan oleh-oleh.
"Sini." Zoeya menarik tubuh laki-laki itu. Mengelus rambutnya seperti anak kucing.
"Dia bisa beli barang mewah, artinya kan banyak uang," lirih Kara.
Keluarga Jenggala memang
pembisnis. Namun, bukan orang yang benar-benar kaya seperti di cerita lainnya. Keluarganya sangat sederhana. Mereka berbisnis kuliner makanan Indonesia di berbagai negara. Salah satunya Prancis.Meski begitu, Kara tetap hidup menjadi remaja pada umumnya. Tidak pernah pergi ke club dan tidak pergi balapan. Benar-benar definisi goodboy. Tempat dia tinggal juga sederhana. Hanya rumah minimalis dengan halaman yang cukup luas.
"Yaudah kamu belajar rajin-rajin biar bisa kerja terus beli barang yang kamu mau. Okey?" nasihatnya pada Kara."Aku bisa beli, tapi kalau bukan dari orang yang kita sayang itu berbeda. Kayak ada bumbu perasa gitu," ucap Kara sambil mengorek telinga yang gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segitiga Samar
Teen Fiction"Kamu salah, Kar. Bersembunyi hanya membuatmu kalah tanpa aba-aba." Sebuah pistol meluncurkan pelurunya tepat ditengah malam. Berhasil menembus pemompa darah dalam waktu singkat. Tubuh yang bertahun-tahun menompang tidak lagi sanggup bahkan wajah be...