---"Aku tidak akan pernah lagi menghitung ayam sebelum mereka menetas.
Tapi senyuman lebarnya, membuatku memberinya muka."---
Sekitar satu tahun lebih sejak kejadian Pangeran Li Hua di depan Aula Agung Kerajaan Liang. Kembali pada keadaan Kerajaan Zhao. Dua tahun berlalu semenjak Putri Ru memasuki lingkungan Istana Zhao. Kini usianya genap 12 tahun, ia sudah terbiasa dengan lingkungannya itu. Sesekali ia tidak menghilangkan hobi lamanya yang ia pelajari di desa Wu, meracik ramu-ramuan herbal. Kecepatannya dalam mempelajari sesuatu yang menarik baginya patut diancungi jempol, apalagi di usianya saat ini ia juga telah menguasai berbagai alat musik.
Selain meracik obat dan bermain alat musik, ia terkadang melakukan kegiatan-kegiatan wanita yang menurutnya membosankan, menyulam. Ia memang sangat terampil dalam dalam hal itu, tapi tetap saja menurutnya sangat membosankan.
Tanpa ia sadari ternyata Zhao Yi-Zhen sudah lama berada di kamarnya. Memperhatikan setiap inci kegiatan yang dilakukan calon istrinya itu, membuatnya tersenyum bahagia. Ia bahkan tak mau mengganggu kegiatan Ruru yang ia tahu bahwa membuatnya bosan. Zhao Yi-Zhen duduk di bangku kayu buah per, menyangga kepalanya dengan lengan kirinya. Seraya tangan kanannya menyeruput perlahan teh yang telah disajikan oleh pelayan Istana He Ru.
Suara seruputan yang dilakukan Zhao Yi-Zhen membuat Ruru tersadar, ia segera mencari sumber suara, dan memutuskan benang dengan giginya. Mata mereka bertemu, senyuman hangat di wajah ZhaoYi-Zhen membuatnya sedikit merona. "Ya—Yang Mulia, sejak kapan anda di sini, mengapa tidak memberitahuku?"ujarnya mendengus kesal, menghampiri Yi-Zhen dan menyodorkan sehelai sapu tangan di depan matanya.
Yi-Zhen meraih sapu tangan itu seraya meletakkan cangkir tehnya kembali ke atas meja. Ia membenarkan posisi duduknya. Menarik lengan kecil Ruru untuk duduk di sampingnya, Ruru mengerti dan menurutinya. "Phoenix?"tanyanya heran. Ia adalah calon raja, kenapa malah diberikan sapu tangan bermotif burung phoenix? Bukankah itu lebih cocok jika digunakan Ruru sendiri?
"Iya"Ruru memberikan senyuman manis seraya mengeluarkan sehelai sapu tangan lagi dari lengan bajunya. "Milik Ru'er bermotif naga. Ru'er merasa bosan selalu melihat motif phoenix"
Bosan, apa maksudnya? Zhao Yi-Zhen terlihat sangat bingung. Apakah ada maksud tertentu dari kata-katanya itu? Ah, tentu saja ia tidak butuh waktu lama untuk sadar akan maksud dari gadis kesayangannya itu. Zhao Yi-Zhen tersenyum nakal sambil meraba-raba kerapian dari sulaman tangan calon istrinya.
"Dimana pun dan kapan pun, aku akan selalu mengingat gadis bernama Ru yang manis ini."
Ruru tersentak dan menoleh ke arah Yi-Zhen, pipinya merona kembali. Senyuman penuh kemenangan ada di wajah Yi-Zhen. Bagaimana bisa Yi-Zhen mengetahui maksud darinya itu. Apakah kata-katanya yang barusan langsung menunjuk ke maksudnya sendiri? Duh, aku memang tidak hebat dalam menyembunyikan sesuatu.
"Itu kan maksudmu?"
Lanjut Yi-Zhen, tangannya meraih dagu Ruru yang mungil. Mereka saling memandang. Senyuman hangat memenuhi Istana Ha Ru, Yi-Zhen mendekatkan wajahnya, sangat dekat. Bibirnya hampir meraih permukaan bibir mungil milik Ruru, sebelum akhirnya Kasim Wu mengganggu adegan yang sangat mendukung tadi. "Mohon maaf atas gangguan hamba Yang Mulia, tapi Yang Mulia Kaisar memanggil Putra Mahkota."
Ah, sial. Padahal yang tadi itu kan sangat mendukung. Kasim Wu, aku akan membunuhmu nanti. Zhao Yi-Zhen terlihat begitu kesal. Aura penuh dendam keluar dari tubuhnya, Kasim Wu sngat sadar bahwa itu ditujukan padanya atas kesalahan yang ia buat. Namun Kasim Wu bersikap pura-pura tidak tahu dan terus menunduk.
"Baiklah, aku akan segera ke sana." Zhao Yi-Zhen menjawabnya lesu seraya melihat Ruru yang menutupi wajahnya dengan lengan bajunya itu. Wajahnya merah seperti tomat, membuat Yi-Zhen tertawa nakal, membuatnya ingin sekali mengurungnya di dalam kandang kecil sehingga dapat ia bawa kemana-mana.
"Aku akan datang ke sini lagi nanti, untuk saat ini sembunyikan dengan rapat wajah Ru'er itu."
Kata-katanya membuat Ruru sadar bahwa Yi-Zhen begitu sangat memperhatikannya, ia hanya tersenyum kecil di balik lengan bajunya yang masih menutupi wajahnya itu.
"Ruru."satu panggilan namanya membuatnya mendongak ke arah Yi-Zhen yang terlebih dahulu berdiri. Dan sebuah kecupan mendarat di dahinya. Lagi dan lagi membuatnya makin memerah. Jantungnya begitu berdebar, bahkan mungkin saja Yi-Zhen bisa mendengarnya, dan bisa saja seisi ruangannya dipenuhi dengan debaran jantungnya itu. Membuatnya menjadi salah tingkah.
Zhao Yi-Zhen mengeluarkan senyum nakal penuh kemenangan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ruru di kediamannya, Istana He Ru.
Ruru masih duduk terdiam mematung di bangku itu. wajahnya semakin memerah dan memerah, seperti panci rebusan api yang berbunyi karena telah mendidih, seperti akan meledak sebentar lagi. Istana He Ru lah yang menjadi saksi bisu kejadian demi kejadian yang membuat Ruru hampir meledak tidak karuan, seelum akhinya hembusan angin dari arah jendelanya mendinginkan kemerahan di wajahnya. Ia menurunkan lengan bajunya, menariknapas lalu menghembuskannya kembali beberapa kali dan akhirnya kembali menjadi dirinya sendiri. Ia masih menggenggam sapu tangan bermotif naga itu dan mengarahkannya ke dadanya. "Yi-Zhen."
Seorang dayang kediaman Ha Ru datang dan mengabarkan Ruru kedatangan seseorang "Yang Mulia, Yang Mulia Permaisuri datang berkunjung". Sontak membuat Ruru terkejut, ia segera memasukkan kembali sapu tangan tersebut ke dalam lengan bajunya dan memberikan tanda kepada dayangnya untuk mempersilahkan Yang Mulia Permaisuri masuk.
***
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak berupa vote, comment dan add to reading list atau library <3
xiexie, arigatou~
KAMU SEDANG MEMBACA
[Phantasmgoria] Romance Trudge
Narrativa StoricaGadis Pembawa Perdamaian yang berujung dengan Perang dimana-mana. Menghancurkan ingatan kehidupan asalnya, pertunangannya, ikatan darah bahkan benang merahnya. Takdir yang berkata lain tentang dirinya mencoba mempermainkan perjalanan hidupnya. S...