---"Di tengah debu, sangatlah sulit untuk saling bertemu dan bertegur sapa.
Tapi di dalam mimpi yang kurindukan, aku masih dapat melihatnya yang penting bagiku.
Aku harap lagu ini tersampaikan padamu."---
Di sebuah negeri yang tidak kalah makmur dengan Kerajaan Zhao, yaitu Kerajaan Liang yang memilik seorang putera yang menjadi satu-satunya pewaris mutlak Kerajaan Liang. Namun kemakmuran rakyatnya agak berbeda dengan keadaa anggotan kerajaan itu sendiri. Ada banyak cerita dibalik tembok tebal yang berbahan dasar batu dengan tinggi sekitar 4 meter itu.
"Ayah, kenapa ayah waktu itu membiarkan ibu pergi? Apakah kesalahan ibu terhadap negeri ini? Apakah tidak bisa diampuni Ayah—"
"Cukup Li-Hua! Sudah berapa kali ayah bilang, ibumu tidak pantas lagi menjadi ratu negeri ini. Kesalahannya memang hanya satu, tapi itu cukup besar. Kembalilah kau Li-Hua!"
Teriakan anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun tak lagi dihiraukan. Ia ditendang keluar dari Aula Agung Istana. Tangisannya bahkan tenggelam oleh deru hujan yang lebat. Di luar Aula Agung, anak laki-laki bernama Li-Hua itu masih saja berlutut, memohon pengampunan atas kesalahan ibunya di masa lampau yang membuat ayahnya begitu murka dan mengusirnya dari istana.
Hujan mewakili hatinya yang kini menangis. Berulang kali ia menghapus air matanya yang hangat namun tetap basah karena air hujan. Beberapa kali kasimnya meminta tuannya untuk bangkit dan kembali ke kediamannya, namun ditolaknya berkali-kali pula. Kasimnya hanya berdiri di samping tuannya, memberikan payung besar untuk melindungi tuannya yang masih seorang anak dari dinginnya hujan.
Tuannya merupakan orang penting di Kerajaan Liang. Dialah Putra Mahkota Kerajaan Liang, Du Li-Hua. Dan yang tadi menolak permohonan ampunannya di Aula Agung adalah ayah kandungnya sendiri, Raja Du Qing-An.
Bagaimana bisa seorang anak dibiarkan berhujan-hujan di luar sana. Setelah kehilangan ibunya setahun yang lalu, ia dibiarkan saja di kediamannya. Memang beberapa kali Raja Qing-An mengunjunginya tapi kunjungan itu tak berarti apa-apa baginya. Tanpa ibu itu terasa berbeda, aneh, dingin, suram. Sosok ibu adalah segalanya baginya, bahkan melebihi dunia ini.
Tubuh itu tak lagi berdaya semalaman menahan beribu-ribu rintik air. Bahkan Kasimnya sendiri sudah beberapa kali bergantian memegangi payung untuknya. Anak itu terjatuh lemas, tubuhnya menggigil. Bahkan sesampainya di kediamannya, tak seorang pun datang mengunjunginya termasuk Raja Qing-An sendiri. Ia bersumpah, akan mendengarkan pengampunan ibunya dari mulut ayahnya sendiri kelak.
Du Li-Hua, bagaikan seekor kucing yang kehilangan ibunya di tengah lebatnya hujan kemalangan di dunia. Bahkan kehilangan ibunya di rumahnya sendiri. Rumah yang penuh kehangatan seorang ibu telah sirna menjadi rumah beruang sedingin es di Kutub Utara. Bahkan beruang sendiri masih memiliki kehangatan keluarga.
Sudah satu tahun sejak kepergian ibundanya tercinta dari Istana Liang. Sudah setahun pula Li-Hua telah berusaha untuk mendapatkan pengampunan ibunya. Namun hasilnya tetap saja nihil. Kemarin adalah terakhir kalinya, selanjutnya aku akan menunggu waktu yang tepat. Kediaman Ratu kini kosong. Biasanya Raja tidak akan membiarkan posisi Ratu akan kosong selama ini, tapi kali ini berbeda. Raja Qing-An seperti sudah lama berniat untuk mengosongkan posisi itu.
Li-Hua hanya menatap jauh Istana Ratu dari balkonnya. Matanya menerawang jauh ke Aula Agung. Tangannya tampak mengepal kesal. Hampir saja ia terlarut dalam amarah yang sudah lama ia pendam jika saja kasim setianya itu tidak mengingatkannya akan jam latihannya. "Yang Mulia, ini sudah waktunya".
"Kasim Qu, apa jadwalku setelah latihan pedang?"tanyanya seraya membersihkan pedangnya beberapa kali.
"Tidak ada Yang Mulia. Ada sekitar empat jam lagi sebelum Yang Mulia menghadiri perjamuan nanti malam."jawabnya sopan sambil membungkuk.
"Persiapkan pakaian sederhanaku"
"Yang Mulia? Apakah Yang Mulia hendak pergi ke suatu tempat? Dan apakah hamba berhak untuk mengetahuinya juga?"
"Kasim Qu, kali ini kau juga boleh ikut menyertaiku. Kita menggunakan kuda saja".
Senyuman lebar merekah menampilkan gigi-gigi putih yang rapi dari Kasim Qu. Ia tidak menyangka bahwa kali ini Tuannya akan menyertakannya ikut dalam petualangannya. Semenjak kepergian Ratu Liang, Putra Mahkota Du Li-Hua bahkan menutup hatinya dari siapapun. "Siap. Titah Yang Mulia akan hamba laksanakan".
Jangan lupa buat tinggalin jejak dengan votmment atau add to reading list atau library ^_^
Xiexie aka arigatou~
KAMU SEDANG MEMBACA
[Phantasmgoria] Romance Trudge
Fiksi SejarahGadis Pembawa Perdamaian yang berujung dengan Perang dimana-mana. Menghancurkan ingatan kehidupan asalnya, pertunangannya, ikatan darah bahkan benang merahnya. Takdir yang berkata lain tentang dirinya mencoba mempermainkan perjalanan hidupnya. S...