Sepertinya sembilan puluh persen kegiatan kerja kelompok kebanyakan diisi dengan bermain, bergosip, dan makan. Itu juga yang kami lakukan, sejak teman-temanku yang lain datang di jam setengah empat sampai sekarang sudah jam tujuh malam pekerjaan kami belum selesai. Namun, cemilan yang aku dan Tante Andin siapkan sudah habis tak bersisa. Padahal tugas kami hanya membuat media persentasi di kertas karton. Dan juga sebelum mereka datang aku dan Evan sudah menyiapkan materinya agar lebih cepat, tetapi tetap saja jika laki-laki bertemu dengan teman laki-lakinya maka tidak akan jauh dari kegiatan bermain, dan perempuan jika bertemu dengan teman perempuannya akan bergosip.
"Eh kalian makan dulu, yuk. Nanti dilanjutkan lagi." Tante Andin datang dari arah dapur mengajak untuk makan. Aku dan teman-teman ku saling berpandangan.
"Iya, Tante," ucap Izam yang langsung semangat, tapi di cegah Dita.
"Iya nanti aja, Tante. Ini kita selesaikan dulu," ucap Dita.
"Nggak enak loh, kalau ngerjain tugas tapi lapar," ucap Tante Andin, yang di benarkan Izam.
"Iya benar, Tan." Dita meringis kesal ke arah Izam.
"Udah, ayo makan dulu aja. Mamaku nggak bakal berhenti sebelum kalian makan, ayo." Akhirnya setelah diajak Evan, kami semua menuju ruang makan.
Aku, Evan, Aya, Izam, Dita dan Mike duduk di kursi menghadap meja makan yang sudah ada banyak lauk pauk. Namun, aku tidak melihat Om Anton dan Erin.
"Loh, Tan. Om sama Erin mana? Nggak ikut makan?" tanya ku pada tante Andin.
"Udah kok tadi, ini kalian makan, ya. Abisin kalau perlu." Izam memberi hormat ," siap, Tante." Mengundang gelak tawa dari kami dan Tante Andin.
Setelah Tante Andin meninggalkan kami di ruang makan, kami memakan hidangan yang di sediakan. Makanan kali ini berbeda dari saat siang tadi. Ada ikan goreng tepung, cumi goreng tepung, sayur tumis kangkung. Karena aku alergi cumi akhirnya aku memilih ikan goreng tepung dan sayur kangkung. Teman-temanku yang lain juga mengambil makanan mereka. Aku kaget saat melihat piring Izam yang penuh dengan nasi berserta lauknya.
"Astaga, Zam! Kamu lapar atau kesurupan? Itu piring sampai nggak muat," suara Mike, mewakili suaraku juga.
"Lapar tau, Mike. Tadi juga mamanya Evan suruh abisin, sayang rejeki disia-siain," ucap Izam.
"Hati-hati, nanti perut kamu sakit, karena kekenyangan, Zam," Aya memperingati.
"Udah, nggak apa. Kamu mau piring lagi,Zam? Aku ambilin,ya? Buat tempat ikannya," ucap Evan diangguki Izam. Evan memanggil pembantunya untuk mengambilkan piring untuk Izam.
Setelah makan, kami melanjutkan tugas yang sedikit lagi selesai. Namun, Izam hanya bebaring di sofa sambil memegangi perutnya. Awalnya aku fikir dia ingin istirahat, tetapi setelah di perhatikan wajahnya pucat dan seperti menahan sakit.
"Kamu kenapa, Zam?" pertanyaanku membuat yang lain juga ikut mengalihkan perhatiannya ke Izam.
"Kenapa?" tanya Dita.
"Perut aku sakit banget, mual juga," ucap Izam lemah.
"Kamu gangguan pencernaan kayaknya, Zam. Mungkin tadi makannya kebanyakan," ucap Aya.
"Tunggu, aku ambilin obat di mama, kayaknya mama punya obatnya." Evan menuju ruang keluarga. Sejak tadi kami mengerjakan tugas di ruangan yang mirip seperti ruang belajar karena banyak buku-buku dirak dan ada juga meja serta sofa.
"Makanya tadi dibilangin, jangan kebanyakan. Yang berlebihan itu nggak baik, kamu rakus banget," omel Dita. Izam meringis kesakitan.
"Siniin jari kamu." Dita menarik tangan Izam yang tidak dia gunakan memegang perutnya, "Sha, kayaknya tadi di kotak pensil kamu aku liat peniti deh, pinjam dong," ucap Dita.
Aku mengambilkan peniti yang memang ada di kotak pencilku, terkadang aku memakainya untuk keperluan mendesak. Dita memposisikan peniti itu diatas jari Izam. Namun, Izam langsung menarik jarinya dan menghindar menjauh ketakutan.
"Kamu mau apain jari aku, Dit!?" ucap Izam takut. Dita menarik paksa tangan Izam kembali.
"Udah, tenang aja, biasanya di drama korea yang aku nonton kalau ada kayak kamu gini, jarinya di tusuk dengan peniti." Izam mulai tenang "Kamu udah pernah coba, Dit?" tanya Mike.
"Belum sih, ini baru aku mau coba, manjur atau nggak." Ucapan Dita, membuat Izam langsung menarik tangannya dan berpindah tempat ke belakangku.
"Nggak usah, Dit. Aku nggak mau meregang nyawa karena ditusuk peniti." Aku menoleh bingung, memangnya ada pernah meninggal ditusuk peniti, aneh-aneh aja.
Evan datang bersama Tante Andin, "ini obatnya, Zam." Izam langsung menerima obat dan gelas berisi air dari Evan. Setelah itu Izam duduk lemas di atas sofa.
"Kamu nggak apa-apa, Zam?" tanya Tante Andin khawatir, mungkin karena lemas Izam hanya menganggukkan kepala.
Kami melanjutkan mengerjakan tugas dan membiarkan Izam istirahat, lagipula sisa sedikti lagi. Tepat jam setengah sepuluh pekerjaan kami selesai, Evan yang akan membawanya besok pagi, untuk dikumpulkan. Izam sudah baikan setelah minum obat, kami bersiap pulang. Namun, aku bingung aku pulang dengan siapa Izam yang rumahnya paling dekat dengan kos aku mengendarai motor dan pasti harus mengantar Aya, kalau aku minta Evan mengantar pulang nggak enak ini udah malam banget. Mike juga mengendarai mobil, tetapi kos aku dan rumah dia beda arah. Teman-teman yang lain sudah pulang tersisa aku sendiri dengan kebingungan. Disaat aku sedang berpikir, Evan datang dengan kunci mobil ditangannya.
"Sha, ayo aku antar pulang." Aku sungguh tidak enak, ini sudah malam, tetapi masa aku harus pulang sendiri "maaf ya, Van. Aku ngerepotin," ucapku tidak enak.
"Sha, kamu nginap aja disini, udah malam. Tadi Tante udah bilang ke ibu kamu," ucapan Tante Andin yang baru datang dari dalam rumah membuatku bingung dan terkejut. Tadi memang aku sudah memberikan nomor Ibu ke Tante Andin dan mereka sudah mengobrol layaknya teman lama yang baru berkomunikasi. Namun, masa aku nginap di rumah Evan walaupun ada Om, Tante dan Arin, tetapi ini rumah teman cowok aku, kalau teman-teman aku tahu bisa diintrogasi.
Aku menoleh ke arah Evan yang juga melihatku sepertinya menunggu keputusanku, apa memilih pulang atau menginap. Aku bingung, satu sisi aku nggak nyaman kalau harus menginap di rumah teman laki-laki meskipun ada keluarganya, tetapi disisi lain aku juga nggak enak kalau meminta diantar pulang, jarak rumah Evan ke kosku dua piluh menit, kalau harus mengantarku berarti Evan di jalan hampir satu jam. Nanti takut ada apa-apa di jalan.
Aku melihat Tante dan Evan bergantian, Om Anton sepertinya sudah istirahat di kamar. Akhirnya aku memutuskan menginap disini.
"Ya udah, Tan. Kalau nggak merepotkan aku menginap aja." Tante Andin dengan senang langsung menarikku masuk diikuti Evan.
"Nggak dong, Sayang. Kamu tidur di sini, ya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan," ucap Tante. Aku dibawa ke satu kamar tamu. Kamarnya sangat nyaman menurutku, luasnya hampir sama dengan kamar kosku. Dilengkapi dengan tempat tidur dan satu lemari.
"Van, ambilin baju kamu, ya. Nggak nyaman pasti Asha kalau tidur pakai bajunya yang itu," ucapan Tante Andin membuat ku kaget, "Hah?" Aku dan Evan memang dekat, tetapi nggak juga aku pakai baju dia. Mau bagaimanapun aku cewek, Evan cowok. Tante Andin ada-ada aja.
"Nggak usah, Tan," Aku melihat ke arah Evan yang juga melihatku, sepertinya juga bingung dengan permintaan mamanya.
"Sana, Van. Ambilin Asha baju kamu." Tante Andin mendorong Evan keluar dari kamar yang akan aku tempati mala mini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Di Belakang Gedung Sekolah (Proses Penerbitan)
Teen FictionOrang bilang, jika ingin mengetahui seberapa berbedanya dunia dengan harapanmu, kau harus keluar dari lingkaran emas yang mengelilingimu selama ini. Setelah aku melakukannya, ternyata dunia ini penuh kepalsuan. Tuntutan dan kekuatanku tidak sebandi...