Part 20. Baksos

11 6 0
                                    

Aku sudah siap untuk berangkat kegiatan bakti sosial. Kami semua akan berkumpul di himpunan untuk nantinya bersama-sama ke kampus. Aku sudah menyiapkan peralatan melukis untukku sendiri. Sementara, untuk anak-anak di sana nanti sudah di siapkan panitia. Aku juga memasukkan beberapa cemilan ke dalam tas, mungkin saja aku bisa memberikannya ke panitia atau anak-anak di sana. Harmonika berwarna putih milikku juga ke masukkan ke dalam tas untuk nanti kumainkan di sana sebagai hiburan untuk mereka.

Aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki, tidak lupa aku mengunci pintu kamar terlebih dahulu. Aku singgah di salah satu warung yang menjual nasi kuning untuk sarapan. Aku memesan nasi kuning dengan lauk ayam dan tempe orek. Nasi kuning di sini sangat enak, nasinya pulen, dan bumbu ayamnya pun berasa sampai ke dagingnya. Aku sering membeli untuk di bungkus jika masih ada, tetapi kali ini aku makan di tempat. Setelah nasi kuningku habis dan meminum air mineral botol aku melanjutkan berjalan kaki ke kampus.

Saat sampai aku tidak langsung ke himpunan, aku memilih duduk di kursi depan jurusan lalu mengirim pesan ke Akza.

[Saya] Akza aku ada di depan jurusan, bisa datang ke sini nggak.

[Akza] Iya tunggu, Sha.

Akza datang menjemputku untuk ke himpunan, aku duduk bersama Rania. Para panitia laki-laki mengangkat barang-barang yang kami butuhkan dalam kegiatan ini.

Tring

[Dita] Sha, aku sama Vara ada di depan jurusan.

Satu pesan dari dita, membuat aku bingung.

[Saya] Ha? Ngapain?

[Dita] Ya, mau ikut kamu bakti sosial.

"Hmm, Ran," panggilku pelan. Rania menoleh.

"Iya kenapa, Sha?"

"Itu, teman aku ada di depan jurusan katanya mau ikut kegiatan baksos, boleh nggak?"

"Boleh dong, ayo aku temani." Aku bersama Rania menjemput dua orang manusia yang tiba-tiba saja terbuka hatinya untuk ikut.

Aku mengerutkan dahi saat melihat ada empat manusia yang aku kenal berdiri di depan jurusan. Perasaan tadi kata Dita cuman dia dan Vara, kenapa sekarang ada Izam dan Evan juga. Aku menghampiri ke empat orang itu bersama Rania. Evan masih seperti menghindariku.

"Ran, kenalin ini teman kelasku, Izam, Dita, Vara. Sebelumnya kamu udah pernah ketemu Evan, kan?" Aku mempernalkan mereka satu persatu ke Rania. Rania juga memperkenalkan dirinya. Kami berenam menuju ke himpunan.

"Gimana ini? Satu dos nggak muat di atas mobil yang sudah di rental," ucap Rion. Terlihat juga Akza yang menggaruk kepalanya pusing.

"Bisa dibawa motor nggak, sih?" ucap Akza.

"Dos, sebesar dan seberat ini bisa pegal meganginnya," balas Rion.

Aku dan Rania saling melempar pandangan, lalu menghampiri mereka, yang tidak jauh dari kami.

"Kenapa?" tanya Rania, membuat dua orang itu menoleh ke arah kami.

"Ini, dosnya nggak muat di mobil," ucap Rion frustasi.

Aku terpikir mobil Evan, andaikan aku dan Evan dalam hubungan yang baik. Sesekali aku melirik ke arahnya bingung, haruskah aku minta tolong. Sedang berpikir bagaiman solusinya, tiba-tiba Dita datang.

"Kenapa, Sha?" tanyanya, entah kenapa aku lega dengan kedatangan Dita yang bertanya.

"Itu mobilnya nggak muat, ada satu dos perlengakapan melukis yang nggak bisa diangkut," ucapku. Dita menarikku ke arah Evan.

"Van, Asha mau ngomong." Aku melirik kesal arah Dita. Apa dia lupa keadaanku dengan Evan bagaimana. Evan menatapku tajam menunggu, tatapan lembut Evan yang biasa ia berikan tidak ada. Sejenak aku merasa sedih, dan entah hanya perasaanku, tiba-tiba saja tatapan Evan sedikit melembut.

"Itu, mmm, bisa nggak satu dos di masukkan ke mobil kamu?" ucapku pelan. Evan pergi tanpa menjawab permintaanku. Apakah Evan menolak, mendapatkan pikiran itu membuatku sedih. Evan dulu tidak pernah sekalipun menolak permintaanku. Tidak lama senyumku terbit saat melihat mobil Evan memasuki lapangan depan himpunan. Dia keluar dari mobil lalu membuka bagasi belakang. Aku meminta Akza memasukkan dos itu ke dalam bagasi mobil Evan.

Semua sudah siap berangkat, Akza menghampiriku, "Sha, kamu bareng Tara, ya?" Aku menatapnya bingung bukankah aku akan berangkat bersama dia, bagaimana dia bisa mengoperku ke yang lain yang aku sendiri belum dekat.

"Kamu sama siapa?"

"Aku sama Keisha ada urusan dulu, nggak apa kan?" Akhirnya aku mengangguk, agak kesal sebenarnya, tetapi mau bagaimana lagi?

Tiba-tiba satu tangan memegang pergelangan tanganku membuatku kaget. "Bukannya kamu yang menjanjikan berangkat bersama Asha? Kenapa sekarang Asha kamu oper ke orang yang dia belum kenal? Kalau kamu nggak bisa, nggak usah janji," ucap dingin si empunya tangan yang ternyata Evan, "Asha ikut aku," lanjut Evan lalu menarikku ke mobil, mendudukkanku di kursi depan.

Dari kaca depan mobil aku bisa melihat Akza yang menatap tajam, lalu aku menoleh ke sebelah kananku, Evan yang terlihat kesal menatap ke arah depan. Aku bingung, apakah Evan harus semarah itu? Iya sih Akza salah, aku juga kesal, tetapi tidak sampai marah banget.

Akhirnya aku ke tempat kegiatan bakti sosial dengan mobil Evan. Kami berangkat dengan beriringan, Evan mengendarai mobil dan sebisa mungkin tidak kehilangan teman-teman yang lain yang memakai motor. Jalanan yang kami lalui untuk sampai ke tempat tujuan, lumayan rata hanya saat sudah dekat harus melewati jalanan batu yang tidak rata.

Saat sampai aku dan lainnya berbaur dengan panitia yang lain, kami di bagi tugas. Aku bertugas menemani anak-anak bermain, sementara menunggu ruangan kelas mereka di perbaiki. Aku, Vara, Rania, dan Dita membagikan peralatan melukis ke para siswa, kami duduk di bawah pohon rindang depan ruang kelas mereka. Izam dan Evan membantu memperbaiki ruang kelas. Para siswa melukis sesuai dengan kreativitas mereka. Salah satu siswa mengampiriku.

"Kakak, lukisan aku bagaimana?" Anak itu memperlihatkan lukisan sebuah pemandangan langit malam.

"Bagus banget, kamu suka melukis?" tanyaku mengusap kepalanya.

"Suka kak, nanti aku mau jadi pelukis kalau besar nanti," ucapnya membuatku tersenyum.

Setelah melukis aku mengajak anak-anak bernyanyi. Mereka di pandu oleh Vara yang memang memiliki suara bagus. Aku mengiringi mereka dengan harmonica yang ku bawa. Setelah lagu selesai mereka bertepuk tangan dengan gembira. Aku melihat Evan yang berada di karang dakat laut tersenyum melihatku, tetapi sedetik kemudian berubah menjadi dingin kembali.

Setelah makan siang kami semua bersantai di halaman sekolah yang langsung menjorok ke laut. Semua siswa sudah pulang. Aku melihat di sisi lain tempat ini Evan dan Akza sedang bersama , tetapi tiba-tiba Evan memukul Akza. Orang-orang yang berada di tempat itu berusaha melerai, aku berlari ke arah mereka. Evan berusaha lepas dari pegangan Izam dan orang-ornag di sana. Kenapa Evan semarah ini, aku tidak pernah melihatnya memukul orang lain separah ini. Bisa kulihat sudut bibir Akza berdarah. Evan berusaha melepaskan diri, aku berdiri di depannya.

"EVAN!" teriakanku berhasil membuat Evan sedikit tenang, tetapi tetap berusaha melepaskan diri.

"Lepasin, gue mau hajar manusia tidak tahu diri ini," ucap Evan emosi. Dia tidak pernah menggunakan kata gue atau lo sebelumnya. Apa sebenarnya yang dilakukan Akza hingga Evan semarah ini.

Aku memegang kedua pipi Evan, membuatnya menatapku, " Evan cukup! Aku nggak suka kamu gini, bisa stop?" Evan mulai tenang, saat pegangan yang menahannya mengendur dia melepaskan diri dengan sekali hentakan, lalu menarikku. Namun, tanganku yang lain ditahan Akza.

"Lepasin tangan,lo," ucap Evan emosi.

"Kamu kalau mau marah sama aku, jangan bawa-bawa Asha," ucap Akza tenang berbanding terbalik dengan Evan yang emosi.

"Lepasin gue bilang!" Emosi Evan kembali naik.

"Van, please," ucapku memohon.

Evan menatapku. "Kamu ikut aku atau di sini sama cowok pengecut ini?" ucap Evan.

Cerita Di Belakang Gedung Sekolah (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang