Di kehidupanmu kau akan menemukan seseorang yang mencoba melakukan terbaik untukmu. Mungkin kata itu cocok kuberikan untuk Evan saat ini. Seseorang yang selalu membuatku merasa terlindungi, membuat aku senang. Bahkan pada saat aku tak ingat jika kami mengenal sejak lama. Jika saat kecil dulu mungkin aku hanya menganggap Evan sebagai teman main, yang selalu memberikan waktunya untukku meski saat itu aku mengajaknya bermain boneka barbie. Saat ini aku menganggapnya sahabat yang selalu ada saat aku butuh, menemani aku, dan mencoba mewujudkan keinginanku.
Seperti kali ini, meski orang-orang yang akan kita temui tak satupun dia kenal. Evan bersedia menemaniku. Memiliki Evan sebagai sahabat adalah hal yang aku syukuri selain bertemu dengan Aya. Kami sampai di kafe yang diinfokan Akza. Aku keluar terlebih dahulu, setelah Evan keluar dari mobil, kami masuk ke kafe.
Aku melihat sekeliling mencari keberadaan Akza, seseorang melambai kepada kami. Akza bersama lima orang di kafe ini. Mereka semu duduk di dua meja yang di dekatkan menjadi satu. Akza berdiri menyambut kami.
"Hai, Sha." Aku tersenyum.
"Hai."
"Sha, kenalin, ini Rion kamu sudah pernah ketemu sebelumnya, ini Keisha, ini Rania, ini Tara, kalau yang ujung itu Wira." Satu persatu Akza menyebutkan nama mereka, aku juga memberikan senyum sapa ke mereka dan lambaian tangan.
"Ini kenalin Asha, dan Evan." Kali ini Akza memperkenalkan nama kami.
"Hai," sapaku tersenyum. Mereka semua balik menyapa.
"Duduk, Sha, Van." Aku dan Evan duduk dengan aku berada diantar Evan dan Akza.
Beberapa dari mereka sudah pernah kulihat sebelumnya, mungkin yang lainnya juga, tetapi aku tidak ingat. Rion pernah bertemu sebelumnya di kantin, dia yang memanggilku untuk bertemu Kak Julian. Aku belum tahu sifatnya keseluruhan, tetapi sepertinya Rion tipikal anak yang tidak banyak omong. Lalu ada Keisha yang sempat aku temui di himpunan saat aku, Aya, dan Evan kesana. Wajahnya terlihat dewasa, dan anggun. Aku tidak tahu harus menggambarkan sifatnya bagaimana. Ada juga Rania wajahnya sedikit chubby tapi terlihat cantik. Tara sepertinya laki-laki yang mirip sama Izam, jahil dan tengil dan sepertinya Wira juga setipe dengan Tara.
"Dari mana, Sha?" tanya Keisha lembut.
"Aku dari nganter teman ke terminal."
"Sha, maaf boleh aku tanya?" Rania mengusap lengannya gugup, sepertinya dia tidak yakin untuk bertanya.
"Iya, tanya aja, Kenapa?"
"Maaf banget. Kamu sama Evan beneran satu rumah?" tanya Rania dengan wajah gugup, sepertinya mereka sangat penasaran sampai-sampai meski takut menyinggugku mereka masih bertanya.
Aku mengangkat alis, tersenyum menatap mereka. Evan diam di sampingku memberikan ruang untuk aku yang menjelaskan. "Menurut kalian?" tanyaku mencari pendapat mereka. Namun, mereka diam saling menatap satu sama lain menunggu yang lain yang menjawab.
Aku tertawa pelan lalu tersenyum. "Aku sama Evan nggak serumah, aku sama Evan sahabatan dari kecil, orang tua kita juga saling kenal. Jadi kadang mamanya minta aku nginap di rumah Evan."
"Kenapa kamu nggak jelasin ke Kak Julian?' tanya Wira bingung.
"Buat apa? Nggak ada gunanya lebih tepatnya aku nggak minat untuk menjelaskan ke dia."
"Terus kenapa kamu jelasin ke kita?" tanya Tara kali ini.
"Karena terlihat kalian penasaran sekali, dan mungkin juga kalian bisa memberikan informasi yang diinginkan Kak Julian" ucapku tersenyum, tetapi terselip nada sinis di akhir. Sepertinya mereka menangkap kesinisanku terlihat dari Wira dan Tara mengusap tengkuknya gugup. Aku tahu tidak semua dari mereka memiliki niat itu, tetapi ada yang diberikan tugas itu di antara mereka.
Evan berdiri dari duduknya tanpa berbicara, sepertinya ingin memesan. Karena sedari tadi tidak ada pelayan yang menghampiri kami. Rania dan Keisha mengajak aku mengobrol, mereka lebih banyak bertanya yang kujawab seperlunya. Mereka juga sudah mendapatkan jawaban dari tujuan mereka. Evan datang dengan satu cup es krim strawberry.
"Nggak ada coklat, sisa ini," ucapnya saat meletakkan es krim di meja depanku.
"Kok nggak bilang mau pesan, kan aku juga mau," ucapku cemberut persis seperti anak-anak, jauh berbeda saat aku berbicara dengan yang lain di meja ini.
Evan mengacak rambutku, tetap dengan wajah datarnya, sejak masuk ke kafe ini wajah Evan datar dan tidak banyak bicara, "Aku udah pesanin kok, lava cake coklat. Mereka nggak nyediain makanan berat," ucap Evan.
Saat pesanan datang, aku langsung memakan cake dengan lumeran cokelat di dalamnya, enak. Evan memesan kopi seperti biasa. Saat aku akan menyendokkan kue itu Evan menahan tanganku dan mengarahkannya ke mulutnya. Aku menatapnya sinis, bisa-bisanya dia memakan kueku. Saat mengalihkan tatapan dari Evan aku bisa melihat Wira, Rania dan Tara melihat kami dengan tatapan kaget. Aku melanjutkan makan setelah memberikan senyum ke mereka.
Setelah makan aku berpamitan pulang. Meskipun mereka beberapa kali mengajakku berbicara, tetapi terlihat sekali itu hanya basa-basi semata. Aku tidak bisa masuk dalam pembicaraan mereka, bahkan Helen teman sekelasku yang jarang ku ajak mengobrol lebih membuatku nyaman berbicara daripada dengan mereka.
Karena libur semester telah tiba hari ini aku pulang, dan diantar oleh Evan. Aku berangkat dari rumah Evan, karena barang-barang yang aku bawa sudah siap sejak kemarin saat mengantar Aya. Setelah sampai, aku bisa melihat satu mobil yang paling tidak ingin aku temui. Aku turun, Evan mengikutiku di belakang. Aku bisa mendengar suara dari dalam, ibuku dan satu orang lainnya sedang berdebat.
"Kamu nggak ada hak di sini, rumah ini aku dan kakakmu yang berusaha setelah kita menikah. Rumah ini tidak ada campur tangan dari uang warisan apapun." Aku bisa mendengar ibu masih berusaha tenang.
Aku masuk, dan melihat wanita itu lagi. Sosok yang paling tidak ingin ku temui meskipun dia adalah saudara ayah. Seorang yang merasa dia berhak atas rumah yang aku tinggali bersama Ibu dan Alvin, sedangkan rumah ini sendiri adalah jerih payah ibu dan ayah setelah menikah. Rumah ini saja baru ada setelah aku berumur enam belas tahun.
"Ini kenapa? Kok anda ada di sini?"
Wanita itu menatapku sinis. "Oh ini anak pembawa sial sudah datang," ucapnya.
"ALIFA! Jaga ucapanmu!" ibu berteriak mengingatkannya. Meski sempat tersentak aku berusaha mengatur perasaanku.
"Sepertinya anda tidak punya urusan lagi di sini, bisa pergi?"
"Anak kurang ajar! Kalau bukan karena kamu, kakak aku masih hidup, harusnya kamu yang mati." Aku diam tersentak, mengingat kenyataan dari kepergian ayah.
"ALIFA!" ibu kembali berteriak memperingatkan wanita itu, "Evan bawa Asha masuk." Evan menarik aku yang masih diam untuk masuk.
Evan mendudukkanku di sofa ruang keluarga, aku masih bisa mendengar ibu yang menyuruh wanita itu pergi. Tidak lama suara mobil menjauh. Ibu masuk menemui aku, aku menatapnya rasanya ingin menangis, tetapi kutahan. Jika aku menangis ibu juga pasti akan menangis dan aku tak ingin itu. Untungnya Evan tidak menanyakan hal itu hingga dia pulang.
Kematian ayah akibat kecelakaan, saat itu aku meminta ayah membelikan kue yang ada di seberang jalan. Saat menyebrang jalan, sebuah mobil menabraknya. Aku yang syok saat itu berlari ke tubuh yang sudah penuh darah. Memeluknya hingga dia menutup mata, saat sampai di rumah sakit dokter mengatakan ayah sudah meninggal. Sejak itu saudara ayah yang awalnya memang tidak berhubungan baik dengan keluargaku, semakin membenciku. Selalu menyalahkan aku atas kematian ayah. Aku tahu aku salah, tetapi aku juga tak ingin kehilangan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Di Belakang Gedung Sekolah (Proses Penerbitan)
Novela JuvenilOrang bilang, jika ingin mengetahui seberapa berbedanya dunia dengan harapanmu, kau harus keluar dari lingkaran emas yang mengelilingimu selama ini. Setelah aku melakukannya, ternyata dunia ini penuh kepalsuan. Tuntutan dan kekuatanku tidak sebandi...