Part 13. Kak Julian Lagi

9 7 0
                                    

Dua minggu yang sangat berat dengan soal-soal ujian yang datang tak terduga telah selesai. Setelah kemarin aku sempat pulang ke rumah yang juga menjadi ajang temu kangen antara Ibu dan Tante Andin. Tiba hari ini aku dan mahasiswa lainnya harus mengumpulkan tanda tangan dari mulai Kepala bengkel, Kepala laboratorium, Kepala Perpustakaan, Ketua Jurusan, Ketua Program Studi, dan banyak lagi tanda tangan pejabat kampus yang harus kami kumpulkan. Ini menjadi syarat untuk mendaftar semester selanjutnya.

Agar lebih cepat, kertas pendaftaran ulang semua di kumpulkan ke Abi untuk ditanda tangani oleh pejabat kampus. Untungnya kami tidak punya tanggungan seperti alat laboratorium yang rusak atau lainnya. Setelah Abi memasukkan pendaftaran ulang kami ke ruangan ketua jurusan untuk ditanda tangani, Abi keluar dan menunggu bersama kami di depan gedung jurusan. Di depan gedung terdapat kursi memanjang yang penuh dengan mahasiswa yang tujuannya tentu saja sama dengan kami.

Aku duduk diantara Aya dan Evan. Aya meskipun akan mengundurkan diri dari kampus ini, dia tetap harus melalui prosedur ini untuk mendapatkan surat pengunduran diri. Aku sedang menonton drama korea dari handphone bersama Aya, sedangkan Evan sedang main game online. Dan teman-temanku yang lain dengan kesibukannya masing-masing. Beberapa orang lewat di depan kami, salah satunya berhenti di depanku, karena sedang menunduk menonton aku hanya bisa melihat sepatu converse berwarna putih dengan garis merah dan logo salah satu merk sepatu terkenal. Aku mengklik tanda pause di layar handphone dan mangktifkan mode gelap, lalu melepaskan headset di telingkau. Saat mengangkat kepala terlihat senior itu lagi, Kak Julian. Aku melihat ke samping dimana teman-temanku, beberapa senior juga berdiri di depan mereka.

"Kamu! ke himpunan bersama teman-temanmu!" ucap Kak Julian dengan tegas tak ingin dibantah.

Aku menatap Kak Julian bingung, lalu menengok ke Evan di sampingku, menatap Kak Julian kembali, lalu menghembuskan napas.

"Buat apa, Kak? Kami lagi menunggu kertas pendaftaran ulang di dalam."

Kak Julian menatapku tanpa ekspresi, melipat tangannya di depan dada. Menurut artikel yang aku baca jika seseorang melipat tangannya di depan dada berarti dia tidak setuju atau tidak ingin dibantah. Aku bisa melihat di ujung kursi Abi ingin berdiri, tetapi ditahan.

"Harus ada alasan untuk kalian ke himpunan?" Tanya Kak Julian tegas dengan menatapku. Aku berusaha tetap terlihat menatap matanya, meskipun yang kutatap adalah dahinya agar Kak Julian tidak merasa bisa mengintimidasi aku.

"Iya harus, Kak. Karena kami sedang ada menunggu sesuatu yang menurut saya saat ini lebih penting dari permintaan, Kakak," ucapku tegas. Meskipun sambil mengatur perasaanku karena bagaimanapun aku menyangkal tatapan Kak Julian memberikan rasa takut untukku.

Kak Julian menengok ke samping sambil tersenyum sinis, "Ok, begini bukannya satu orang saja yang menunggu di sini bisa? Kalau begitu kamu saja yang mewakili temanmu ke himpunan."

"Tapi..." sanggahanku terpotong. "Kamu atau semua temanmu harus ke himpunan, saya tidak terima bantahan." Ucapan tegas Kak Julian membuatku bungkam. Aku melihat teman-temanku yang lain sepertinya memang kali ini aku harus mengabulkan permintaan senior ini.

Aku berdiri dari kursi yang kududuki, tetapi di tahan Evan. "Saya ikut, kak," ucap Evan. " Saya juga." Kali ini Aya. Kak Julian mengangguk menyetujui.

"Abi! kita ke sana dulu, ya? Kalau udah selesai infoin," ucapku. Abi terlihat khawatir, aku mengangguk menenangkan.

Aku, Evan dan Aya menuju himpunan, Kak Julian dan teman-temannya berada di depan kami. Kami di suruh duduk di kursi, kali ini tidak di gazebo. Selain Kak Julian aku hanye mengenali Akzaa yang terlihat duduk di samping perempuan yang tersenyum ke arahku dan kubalas. Aya dan Evan duduk di samping kiri dan kananku, aku seperti adik mereka karena keduanya bertubuh lebih tinggi dariku tidak jauh, tetapi tetap saja membuat aku kecil di samping mereka.

"Nama kalian berdua siapa?" tanya Kak Julian, sepertinya pertanyaan itu di tujukan untuk Aya dan Evan.

"Saya Evan."

"Saya Aya, Kak."

Kak Julian memutar korek api di tangannya, tatapan matanya tetap ke arahku. Sesak napasku mulai kambuh, tetapi masih bisa kuatasi. Aku berusaha mengatur napas perlahan tanpa ketahuan senior di depanku ini.

"Kenapa?" Aku memang sepertinya tidak bisa menyembunyikan ini dari Evan. Dia menatapku khawatir, aku hanya tersenyum menenangkan. Suara benda jatuh di meja depanku terdengar cukup nyaring. Aku menatap Kak Julian, tatapannya kali ini sangat menakutkan.

"Hubungan kalian apa?" tanya Kak Julian. Aku menatapnya bingung.

"Hubungan kamu sama Evan, apa? Saya dengar kalian tinggal bersama?" Aku bisa merasakan tatapan orang-orang mengarah kepadaku dan Evan. Aku berusaha tenang.

"Saya rasa, apapun hubungan saya dengan Evan itu bukan urusan siapapun, termasuk Kakak."

"Kalian sudah menikah?" tanya seorang perempuan yang berada di sampingg Kak Julian. Perempuan ini sepertinya adalah teman Kak Julian, karena dia pernah masuk ke kelas kami untuk menawarkan pin.

"Kalau mereka sudah menikah, harusnya dia segera drop out." Kampus ini menerima mahasiswa yang sudah menikah, tetapi aku penerima beasiswa salah satu syaratnya belum menikah.

Aku menghembuskan napas jengah, "kakak, bisa cek di semua KUA di Negara ini. Saya belum menikah."

"Berarti kamu serumah dengan seseorang yang bukan pasanganmu? Saya lihat kalian juga sering pulang bersama. Kalau sampai di rumah kalian ngapain?" nada sinis terdengar di akhir kalimat Kak Julian.

Aku berusaha tenang, "Sepertinya ucapan kakak sudah keterlaluan dan tidak berdasar. Saya tidak tahu jika kakak sangat mengidolakan saya sampai ingin tahu kehidupan pribadi saya. Walaupun tidak penting, saya akan menjelaskan satu persatu. Pertama saya tidak serumah dengan Evan, saya hanya sesekali menginap di sana saat orang tua Evan meminta saya, jika kakak penasaran keluarga saya dan keluarga Evan sudah seperti keluarga. Kedua kalau saya sering pulang bersama Evan itu urusan saya, masalah kakak kenapa? Mau di antar juga? Kalau mau nanti saya pesanin ojek atau taksi online buat kakak. Ketiga kalau sampai rumah saya ngapain? It's not your business. Sudahkan? Saya rasa sudah semua saya jelaskan, permisi" Aku menarik Evan dan Aya pergi dari tempat itu.

Aku mengambil sikap untuk membalas perkataan Kak Julian, karena aku bisa melihat Evan sudah emosi. Dan jika dia bertindak gegabah dengan melawan, pasti yang akan rugi di pihak kami. Evan hanya bersama aku dan Aya, sedangkan Kak Julian bersama teman-temannya. Meskipun beberapa ada teman angkatan kami, pasti mereka lebih membela Kak Julian.

Teman-temanku masih setia duduk menunggu di depan jurusan, sepertinya kertas pendaftaran ulang kami belum selesai di tanda tangani. Evan menendang kaki kursi yang di tempati teman-temanku dengan emosi. Membuat yang lain kaget dan menatapku bingung. Untungnya yang Evan tendang adalah kursi yang hanya di duduki teman sekelas kami.

"Kenapa?" tanya Ibra khawatir.

Setelah Evan melampiaskan amarahnya sekali, aku menariknya untuk duduk, "Nggak apa, Ib. Cuman sedikit berdebat tadi di sana." Ibra sepertinya paham jika ini adalah urusan pribadi aku dan Evan, dia tidak bertanya lagi.

Aku mengusap punggung tangan Evan yang berada di lututnya, Evan menyandarkan kepalanya ke bahuku. Napasnya berangsur stabil dan tenang. Aya mengusap punggungku, dia paham aku juga emosi, tetapi berusaha kututupi. Aku menoleh kepadanya membalas senyumannya.

"Aku mau ke kantin, kamu mau titip apa?" tanya Aya lembut.

"Mau aku temani?" tanyaku.

"Nggak usah, kamu disini aja, aku pergi sama Dita." Aku paham teman-temanku yang lain penasaran dan khawatir, tetapi setelah mendengar jawabanku atas pertanyaan Ibra, mereka memilih diam.

"Aku Green Tea aja, Evan kopi aja." Aya bersama Dita pergi.

Evan masih menyandarkan kepalanya di bahuku, tangannya menggenggam tanganku. Posisi seperti ini membuat bahuku keram, tetapi ya sudahlah. Aku mengusap kepalanya, hal yang biasa dia lakukan untukku. Akza lewat didepan kami, dia tersenyum dan kubalas.

Cerita Di Belakang Gedung Sekolah (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang