Part. 38

707 42 0
                                    

“Permisi, ini Kak Alren, ya?” tanya seorang gadis yang datang tiba-tiba menghampirinya. Dengan pakaian feminim, rambut panjang coklat, rok mini, baju rajutan berwarna merah muda dengan sneaker putih.

Laki-laki yang sedang duduk menunggu itu menoleh. “Ya, gue Alren. Lo siapa?” balas Alren datar.

“Kenalin, namaku Inzy,” ujar gadis itu seraya mengulurkan tangannya dengan senyuman manis tercetak di sana.

Alren memandangnya dari atas sampai bawah. Terlihat sekali gadis ini pasti lebih muda darinya.

Melihat Alren tidak berniat berjabatan tangan dengannya. Gadis itu pun menarik kembali tangannya. Kemudian melepaskan tas sling bag kecil di kursi. Lalu terduduk berhadapan dengan laki-laki itu.

“Hm, Kakak udah lama nunggu? Makasih, udah nunggu. Tadi macet banget.”

Alren mengangkat sebelah alisnya bingung. Memangnya Alren menunggu gadis ini. Aneh sekali.

“Lo siapa? Gue ke sini di suruh pelakor. Lo ngapain di sini?”

Gadis itu tersenyum tipis. “Aku Inzy. Oh iya, waktu pertemuan keluarga itu Kakak nggak ikut, ya?”

Alren menyandarkan punggungnya. “Buat apa? Ngabisin waktu.”

“Padahal seru banget, sayang kamu nggak ikut. Bulan depan mau ada pertemuan keluarga kita, mungkin Kakak harus ikut.”

Laki-laki itu menghela napas kasar. “Nggak, seru bagian mananya, bocah? Makan daging, minum anggur atau teh. Ngobrol bisnis. Ck, males.”

Gadis itu hanya tersenyum tipis, lalu menyambar secangkir kopi di depannya. Meneguk pelan, dengan tubuh yang tegak. Sepertinya pertemuan pertama dengan Alren akan cukup membekas untuknya.

“Kenapa nggak tertarik sama bisnis?” tanya Inzy berusaha mengulurkan waktu agar dia bisa berlama-lama dengan laki-laki itu. “Bisnis banyak manfaatnya, Kak.”

“Niat aja nggak ada. Apalagi tertarik. Gue males bahas itu.”

“Mungkin sekali-sekali, Kak Alren bisa cari tau bisnis itu. Kalo udah tau, pasti bakal tertarik, kok.”

Alren hanya menampilkan senyuman miring. Sungguh ia tidak tertarik dengan bisnis itu. Terdengar sangat membosankan baginya.

“Sori, gue nggak akan tertarik.”

“Nggak apa-apa, kok. By the way, Kakak SMA kelas 12 kan? Mau kuliah di mana?” tanya Inzy berusaha membuat Alren melupakan menanyakan siapa dirinya.

“Kenapa?”

Gadis itu hanya menggeleng kecil. “Nggak, aku tanya aja.”

“Gue nggak mau jawab.”

“Hm, oke,” jawab Inzy singkat.

Gadis itu jadi bingung ingin menanyakan apalagi. Sepertinya, Alren sedang memikirkan kekasih palsunya yang memakai namanya itu. Menyebalkan.

“Pasti lo saudara dari pelakor itu?”

“Maksudnya?” tanya Inzy.

“Tante Marry. Lo ponakan dia?”

“Bukan,” balasnya. “Aku tunangan kamu."


***


Thanks, Dewa. Gue nggak tau lagi, kalo lo nggak ada tadi,” ujar Rinzy setelah menuruni motor sport itu.

“Nggak masalah. Lo harus tau, Zy, suatu saat semua ini bakal ke bongkar. Gue harap lo udah siap rencana buat itu," balas Dewa seraya membuka helm.

Rinzy langsung tersenyum tipis. Sahabat Alren dan sekaligus Adik Raka benar-benar peduli dengannya. Sejujurnya ia belum menyiapkan rencana yang tepat. Apalagi saat Rinzy tahu, bukan hanya Dion. Tapi Nessa dan Riko sudah tahu soal dirinya. Sungguh menambah beban pikiran.

Gadis itu menepuk pundak Dewa pelan-pelan. “Alren beruntung punya sahabat kaya lo dan Raka beruntung punya Adik kaya lo.”

Sontak netra Dewa membulat. Ia cukup terkejut saat tahu Rinzy ternyata tahu, kalau dirinya adalah Adik Raka kekasihnya.

“Lo tau?”

Rinzy mengangguk. “Udah lama, lo yang suka cupcake gue, kan? Dari awal pacaran sama Raka juga udah tau.”

“Tapi, kita belum pernah ketemu.”

“Dari foto. Waktu itu Raka sempat ceritain soal Adeknya yang paling pintar dan dingin ini,” lontar Rinzy sembari terkekeh kecil.

“Ck, Bang Raka emang kadang-kadang ngeselin.”

“Betewe, pendaftaran kuliah masih beberapa bulan lagi, ya. Bisa dipersiapin dari sekarang juga nggak apa-apa, Dek.” Lalu Rinzy tertawa geli.

“Pasti ini juga Bang Raka gila, kan?"

Rinzy sampai hapal dengan candaan Raka itu. Kata kekasihnya, Dewa ini sangat ingin mengikuti jejak sang Abang jurusan manajemen. Sampai-sampai ia terus menanyakan kapan pendaftaran di mulai. Padahal Raka ketua BEM informasi itu akan sangat mudah didapatkan. Tapi, Dewa ini sangat takut Raka membohonginya.

“Dia cerita apa lagi?” tanya Dewa.

“Hm, apa lagi, ya? Oh, dia juga cerita Dewa pernah suka sama anak tetangga."

“Udah gue duga,” balas Dewa dengan tatapan datar. “Gue mau ganti Abang aja. Nggak bener dia jadi Abang.”

Perkataan Dewa malah membuat gadis itu semakin tertawa geli. Tanpa sadar Dewa juga ikut tertawa. Saat sedang tertawa seperti ini Rinzy terlihat lebih cantik dan manis.

“Dek, Raka itu baik banget. Lo beruntung punya Abang kaya dia. Jadi, Adek yang baik, ya,” tutur Rinzy lembut seraya mengusap lembut rambut Dewa.

Seketika itu juga membuat Dewa sontak terkejut. Netranya membulat tepat saat Rinzy, gadis yang lebih tua darinya. Mengusap lembut rambutnya. Entah, perasaan apa yang dia rasakan sekarang.

“Kalo gitu gua masuk dulu. Thanks, ya, Dewa.”

“I-iya, Zy. Masuk aja.”

“Oke, hati-hati, Dek.” Rinzy tersenyum tipis sebelum membuka pintu pagar rumah. “Dew, cepetan balik udah mau magrib, nih.”

Dewa terkekeh kecil. Lalu kembali memakai helm. Perlahan memutar motornya. “Mungkin Alren pulangnya telat. Biasa kalo pertemuan orang tua gitu agak lama. Lo nggak apa-apa, kan?”

“Lo pikir gue anak kecil?” balas Rinzy terkekeh. “Nggak masalah. Bye.”

Dewa melambaikan tangannya, seraya tersenyum dari balik helm. Kemudian melesat pergi.

Sejujurnya Rinzy sudah tahu, jika Alren akan pergi. Tapi, ia tidak tahu akan secepat ini. Pasalnya Mami Alren hanya mengatakan nanti. Padahal semalaman ia sudah bilang, kalau Alren sedang sakit. Rinzy harap tidak akan terjadi apa-apa.

Rasanya ia tidak rela sama sekali. Tapi waktunya di sini juga sudah tidak lama lagi. Ternyata ia bisa menyelesaikan tugasnya sebagai secret guard cukup baik. Walaupun untuk balapan masih kurang, tapi, laki-laki sudah jauh lebih baik sekarang.

Gadis itu membuka pintu tengah pelan-pelan. Kemudian meraih saklar lampu yang berada di sebelah pintu itu.

Tepat saat lampu menyala sempurna. Rinzy terkejut matanya membulat sempurna, melihat seseorang tiba-tiba muncul. Ia terduduk di sofa dengan jaket kulit hitam.

“Hai, by,” sapa laki-laki itu mengembangkan senyumnya. Lalu bangkit berdiri menghampiri gadis itu.

Sontak Rinzy melangkah mundur satu langkah. “Lo ngapain di sini?”

Laki-laki itu tersenyum tipis seraya mendekati Rinzy. Hingga membuat gadis itu menabrak dinding. “Jadi, jawaban kamu apa? Kamu pilih apa?”

“Gue bilang, gue nggak mau pilih apapun. Lo nggak ngerti juga?!”

Dion terdiam sejenak. Sungguh ia sangat kesal dengan perilaku mantan kekasihnya ini yang sudah benar-benar berubah.

Laki-laki itu memegang pundak Rinzy keras. Ia menatap gadis itu penuh amarah. Lalu menabrakkan tubuhnya ke dinding dengan kuat.

Akh.

“Lo, tuh cewe tolol! Gue baik-baik, lo malah ngelunjak!” bentak Dion.

“Gue nggak peduli, setan!”

Perkataan itu membuat Dion semakin murka. Dengan keras laki-laki mendorongnya Rinzy ke samping. Hingga gadis itu tersungkur dan ponselnya terlempar ke bawah meja.

Akh.

Dion merendahkan tubuhnya, lalu menarik rambut Rinzy ke belakang hingga membuat gadis itu menengadah.

“Maaf cantik, aku emosi. Sebenarnya kamu cantik, tapi kayanya lebih baik kamu mati. Daripada aku harus liat kami sama bocah itu atau sama Raka itu.”

“Lepas, bangsat!” jerit Rinzy sembari menahan rambut dengan kedua tangannya.

“Kenapa kamu cantik, sih, by? Kalo gini, aku jadi nggak tega.”

Dion kembali mendorong tubuh gadis itu ke arah belakang. “Kamu cantik tapi nggak bener. Punya pacar sampe dua, terus sekarang mau nambah lagi si Dewa itu. Ck, kamu cari apa, sih? Duit? Aku bisa kasi, by.”

Rinzy melepas tas ranselnya, kemudian melempar pada laki-laki itu. “Lo nggak tau apa-apa, mendingan lo pergi dari sini!” teriaknya.

Dion melempar sembarangan tas ransel itu. Kemudian berjongkok di depan Rinzy. “Gimana caranya biar kamu nggak bisa kabur dari aku? Apa aku langsung hamilin kamu aja?"

“Brengsek lo! Jauh-jauh dari gue, setan!”

Perlahan Rinzy memundurkan tubuhnya, lalu bangkit berdiri. Ia meraba sesuatu di belakangnya. Cepat-cepat ia menghalangi tubuhnya dengan sapu dan bersiap memukul Dion. “Gue nggak sudi disentuh sama lo.”

Dion tersenyum miring, menahan sapu itu. “Kamu pikir bisa lawan aku pake sapu gini?” Dion menarik kuat sapu itu dan melempar mengenai bingkai foto hingga terjatuh.

Prang.

Gadis itu langsung menutup kedua telinganya. Mendengar bingkai foto jatuh, mengingatkannya pada kejadian sepuluh tahun lalu.

“Jauh-jauh dari gue!” jerit Rinzy menutup dadanya dengan kedua tangan.

Dengan cepat Dion menahan tangan kecil Rinzy. Kemudian mengarahkan ke atas. Degup jantung gadis itu semakin cepat. Tubuhnya melemas, kedua kakinya bergetar ketakutan.

“Dion lo mau ngapain, hah?! Lepasin gue!”

Laki-laki itu tidak berniat merespons apapun. Ia memandangi wajah Rinzy sangat lekat, netranya fokus pada bibir kecil nakal itu.

Dion mengarahkan bibirnya mendekati telinga Rinzy sebelah kiri. “By, aku mau kamu,” bisiknya.

Sontak napas Rinzy tercekat. Gadis itu menggeleng cepat. “Nggak, nggak Dion.”

Pelan-pelan laki-laki itu mendekatkan wajahnya pada leher jenjang Rinzy. Menghirup dalam aroma tubuh gadis itu hingga membuat sekujur tubuh merasa merinding.

“Dion, g-gue mohon jangan, plis,” tutur Rinzy dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Laki-laki itu kembali memandangi wajah gadis itu dan mengikis jarak antara mereka. Bahkan Rinzy dapat merasakan napas Dion.

“Aku cuma mau lepas kangen, by.”

“Nggak!”

Tangan besar berurat itu dengan nakal, mulai membuka kancing seragam gadis itu satu persatu.

“Dion! L-lo sayang sama gue, kan? Nggak mungkin lo begini! Dion, plis,” mohon Rinzy dengan air mata yang mulai jatuh. "Plis."












Dion gila! 😠
Kasian banget Rinzy 😭
Segitunya dia suka sampe obsesi. 🥲

Makasii banyak ya yg udah baca. (人 •͈ᴗ•͈)

Btw, jangan lupa vote, komen dan share cerita ini yaa. (。•̀ᴗ-)✧

Alreenzy [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang