2. Definisi Sinting

372 60 3
                                    


"Jangan saya deh, Pak."

Ara tidak ingin jadi murid kurang ajar dan menolak mentah-mentah ketika gurunya minta tolong dengan tatapan memelas padanya. Hanya saja, menghabiskan waktu pulang sekolah yang bisa digunakannya untuk banyak kegiatan yang lebih baik, tidak rela ia habiskan hanya untuk mengajari Vio yang jelas terancam tidak naik kelas karena memang tidak punya kemauan untuk usaha barang sedikitpun.

Gurunya itu menghela napas. Tahu akan begini reaksi Ara.

"Vio butuh bantuan kamu, Ara. Bapak tidak memaksa karena Bapak tahu kamu juga pasti punya kesibukkan dan pertimbangan. Tapi kalau bisa diusahakan, jangankan Bapak, satu sekolah ini pasti merasa terbantu banget, Adara."

"Pak, bukannya saya kurang ajar mau nolak permintaan Bapak, tapi dia Vio, Pak. Jeravio." Nada suara Ara tidak kalah memelas dari nada bicara guru di hadapannya. Tanpa mempertanyakan lebih lanjut saja sebenarnya Rizal mengerti jelas alasan murid teladannya itu. Tidak semua orang punya apa yang dibutuhkan untuk bertahan meladeni sikap Vio. Semua orang berbeda. Pria paruh baya itu tahu berurusan dengan Vio tidak mungkin mudah. Tapi guru-guru seakan sudah angkat tangan karena jika mereka yang bicara, Vio tidak akan mendengar. Memang sepatutnya dan memang tugasnya untuk terus merangkul Vio... namun Vio tidak ingin dirangkul. Rizal meminta tolong pada Ara karena berharap jika Ara yang merangkul, ceritanya akan berbeda.

"Keputusan kamu berharga sekali buat saya, Ara. Dan juga untuk orang tua Vio. Bapak butuh bantuan kamu."

Ara masih diam ragu.

"Keputusan pembubaran ekstrakurikuler puisi. Bapak akan coba bicarakan lagi dengan kepala sekolah dan komite guru." Kali ini, guru plontos itu tak tanggung-tanggung.

Mata Ara membelalak. Ini guru lagi nyogok gue? tanyanya dalam hati.

"Bapak nggak bisa kasih jaminan nggak akan dibubarkan. Tapi Bapak peduli sekali sama Vio. Dan kalau kamu bersedia bantu Bapak, saya akan coba sekuat tenaga saya juga untuk kamu, Adara. Bapak nggak sedang bikin perjanjian sama kamu. Bapak nggak sedang memaksa dan nyogok kamu. Bapak cuma ingin kamu tahu bahwa membantu Vio nggak cuma untung buat Bapak dan Vio saja. Kamu juga berhak dapat imbalannya." Rizal menjawab pertanyaan tanpa suara Ara.

Tidak. Ara tidak bisa menolak.

Jadi gadis tujuh belas tahun itu mengangguk, sebelum melihat senyuman cerah Pak Rizal dan mendengar hal-hal yang perlu dilakukan gadis itu. Yang Ara tangkap hanya 2 kata ini; besok dan perpustakaan. Kemudian Ara pamit meninggalkan ruangan yang rasanya makin sumpek itu dan berjalan gontai menuju kantin, menghampiri teman-temannya.

"Silahkan. Makan aja." Vey berkata sarkastik begitu melihat Ara datang dengan muka lusuh dan menyuapkan beberapa sendok nasi goreng yang baru saja dibelinya setelah mengantri sampai berkeringat.

"Cewek lo berisik," balas Ara santai pada Gio, pria di sebelah Vey yang menyandang status sebagai kekasih gadis itu sejak 4 tahun lalu. Ara kenal keduanya sejak Sekolah Menengah Pertama, jadi kekompakan pasangan ini dalam membuatnya kesal bukan sebuah hal yang baru.

Gio hanya terkekeh, mengusak kepala Vey pelan sebelum beranjak membelikannya sepiring yang baru. Ara selalu berandai akan pada tahap apa hubungan sahabatnya itu berakhir. Mungkin pelaminan?

"Maaf ya. Gue tahu lo laper. Tapi gue laper plus frustasi. So I deserved this nasi goreng." Ara berujar sambal terus meyuapkan nasi goreng yang tadinya milik Vey dengan lahap.

Vey menghela napas. Sudah biasa. Ia kenal Ara sejak hari pertama masuk Sekolah Menengah Pertama. Awalnya Ara tampak biasa saja; seperti gadis remaja biasa dalam tumpukan remaja lainnya. Namun semakin lama mengenal Ara, Vey tahu gadis itu lebih daripada itu. Ara bukan yang paling cantik, bukan yang paling pintar, bukan juga yang paling punya harta. Ara bukan yang paling populer. Namun Ara baik hati, pemberi nasihat yang baik, serta tulus, dan meskipun sekarang ini tak semua orang peduli akan hati baik seseorang, menurut Vey itu adalah kualitas yang membuat ia tahan sekali menjadi sahabat Ara dan meladeni semua sikap anehnya.

VIO RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang