16. Hanya Untuk Fisika

138 15 1
                                    


Vio menghilang. 5 hari berlalu tanpa kabar sejak terakhir Ara melihat pria itu duduk manis di ruang tamunya. Tentu saja menanyakan keberadaan seseorang tidak sesulit itu apalagi dengan teknologi yang sudah ada. Namun Ara dengan gengsinya yang setinggi langit, mana mungkin mengirimkan pesan pada Vio hanya untuk menanyakan ia ada di mana.

Di samping itu, ia terlalu sibuk meladeni adik kelasnya yang belakangan ini menyita hampir seluruh waktu luangnya.

"Intinya, Nay, kita kumpul setiap Jumat habis bel pulang sampai sekitar jam lima. Kalau misalnya mendekati lomba atau pameran, biasanya di hari lain kita juga bakal kumpul," jelas Ara, entah untuk yang keberapa kali. "Jadi gimana, mau ikut nggak?" tanyanya lagi.

Hari ini sudah 30 menit Ara menjawab pertanyaan Naya, dari yang masuk akal sampai yang tidak. Berpuluh pesan masuk dari gadis itu pun semuanya dijawab Ara tanpa kecuali, tapi tetap saja Naya belum mengambil keputusan.

Vey yang dari tadi menonton kejadian di depannya hanya tertawa kecil sambil membalik halaman novel di pangkuannya. Bukan Vey kalau tidak puas melihat Ara menggaruk tengkuk gemas dan mengusap mata lelahnya mulai kesal dengan tingkah dan semua kata-kata yang keluar dari mulut Naya.

"Emang teknisnya gimana sih, Kak? Kayak setiap pertemuan ngapain aja?"

Pertanyaan terus saja muncul.

"Bukannya aku kemarin udah jelasin ya lewat chat?" Ara memiringkan kepalanya, tapi Naya mengangkat kedua bahunya. Ara menghembuskan napas pelan. Semua yang pernah mendaftar ekstrakurikuler puisi, didasari rasa gemar. Tidak perlu banyak tanya, ketika dengan kata 'puisi,' mereka otomatis langsung membuat keputusan bulat. Tapi Naya berbeda. Entah apa alasannya gencar sekali ingin masuk ekstrakurikuler ini jika tidak didasari keinginan kuat.

"Gini deh, gimana kalau lo ikut dulu, pulang sekolah kita ada kumpul kok hari ini. Nanti kalau ternyata lo nggak suka atau nggak cocok, lo bisa ngundurin diri. Gimana?" tawar Ara akhirnya.

"Tapi kan ada peraturan nggak bisa keluar sebelum naik kelas, Kak?"

"Pengecualian buat lo. Lo kan anak baru juga. Nanti gue coba ngomong sama pendamping ekskul."

Setelah menit hampir berubah jadi hitungan jam, Ara menghela napas lega melihat Naya melenggang keluar dari pintu kelasnya. Baru mau melengos ke kantin, bel penanda istirahat selesai kemudian berbunyi nyaring. Ara mengerang. Kalau saja esktrakurikuler kecintaannya itu tidak sedang dilanda krisis butuh orang, mana mungkin Ara tahan hati meladeni Naya yang barusan.

Berbeda dengan Naya, yang sekarang berdiri di koridor depan kelas Ara dengan senyum lebar di wajahnya. Ara benar, Naya berbeda. Alasan sebenarnya kenapa ia memilih untuk ekstrakurikuler puisi adalah karena ingin tahu sosok seperti apa Ara dan alasan kenapa Vio yang dikenal tidak pernah serius tiba-tiba memutuskan menjalin hubungan serius dengan Ara. Naya tidak suka puisi. Menurutnya, puisi itu berlebihan. Dalam pikirannya, seseorang yang menyukai puisi pastilah merupakan sosok yang dramatis dan seslalu melebih-lebihkan suatu perasaan. Sakit hati sedikit, yang ditulis kata-kata seperti 'tercabik,' 'terkoyak,' dan semacamnya. Terkadang, puisi itu menggelikan; menurut Naya.

Kalau bagi Ara puisi itu ungkapan perasaan yang dipercantik dengan tambahan kata, bagi Naya puisi itu rentetan kata yang biasa dibuat korban patah hati. Kalau bagi Ara puisi sulit dan harus punya arti dalam setiap katanya, bagi Naya puisi itu dapat ditulis bahkan tanpa berpikir sekalipun. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi jika Ara mengetahui tujuan sebenarnya Naya mengikuti ekstrakurikuler puisi dan pandangan gadis itu yang sesungguhnya terhadap dunia persajakan yang merupakan hidupnya Ara.

Pintu kelas yang berdecit sebelum terbuka lebar mengalihkan perhatian seluruh murid yang membuat kelas seperti pasar ikan, kecuali Ara. Tisha menepuk pelan punggung sahabatnya itu beberapa kali sementara sang empunya punggung sibuk menatap layar ponsel yang tersembunyi di bawah meja.

VIO RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang