PROLOG

1.1K 107 14
                                    


Dari awal, Ara tahu Vio bukan yang terbaik.

Dari awal, Ara tahu mereka hanya dua manusia; terjebak dalam lingkar waktu yang sama.

Dari awal, Ara ragu akan akhir cerita mereka.

Itu sebabnya, kebanyakan waktu, Ara berharap tidak pernah ada kata "awal" di antara mereka.

"Hei, jangan bengong."

Ara menoleh begitu suara Kira, sahabatnya, memenuhi gendang telinganya. Lamunan gadis dalam balutan gaun panjang itu buyar dalam hitungan detik. Mata sayunya menatap Kira lama, seakan meminta Kira untuk membiarkannya diam di sini.

"Yuk..." ajaknya kemudian.

Ara menatap senyum Kira ragu.

"Gue bakal baik-baik aja kan, Ki?" Getaran tertahan terdengar dalam suara Ara, meruntuhkan sedikit ketenangan yang coba Kira salurkan. Pundak kanannya ditepuk perlahan. Tisha. Dua sahabatnya itu mengangguk yakin.

"Lo udah siapin diri lama banget buat ini, Ra. Lo bakal baik-baik aja."

Ara menelan ludahnya susah payah. Ia bahkan tidak tahu apakah keringat dinginnya memudarkan riasan yang sejak beberapa jam lalu berkali-kali ia poles ulang.

Mata bulat gadis itu tertuju pada satu titik. Pria tampan dalam balutan jas hitam yang sekarang juga – sepertinya – sedang menatapnya. Ah, Vio. Selalu tampan.

Ingatan samar-samar tentang tiap detiknya bersama pria itu berputar bagai kaset rusak dalam kepala Ara, seiring langkahnya menuju pelaminan—

di mana Jeravio Sebastian sudah menunggunya.

VIO RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang