Christmas : 03

31 9 42
                                    

Jumat 21 Desember.
Narita Airport, Tokyo.

Aku membuka kedua kelopak mataku, mengerjapkan pelan untuk membiasakan intensitas cahaya masuk ke retina mata. Sesaat kepala kutolehkan ke kiri, menatap pemandangan yang terpampang jelas di sana. Aku mengernyitkan dahi saat melihat pemandangan tersebut, bukan puluhan gumpalan kapas lembut namun penuh guncangan saat melewatinya tetapi puluhan pesawat yang hilir mudik di daratan.

"Apa aku sudah sampai?" gumamku bertanya.

"Maaf, Nona."

Suara teguran hangat menyapa di indera pendengar membuatku menoleh ke sumber suara, aku melihat seorang pramugari dengan tinggi semampai sedang menatap balikku.

"Iya?" sahutku dengan nada terdengar seperti bertanya.

"Apa Anda tidak ingin turun, Nona?" tanyanya membuatku kembali mengernyitkan dahi.

"Apa kita sudah sampai di Narita Airport?" Aku kembali bertanya kepadanya, mengesampingkan pertanyaannya yang terlontar beberapa detik yang lalu. Mataku melihatnya mengangguk pelan, "Benar, Nona. Kita sudah sampai sekitar 15 menit lalu."

"Begitu ...." Ia mengangguk lagi sesaat setelah aku bergumam kata demikian.

"Terima kasih telah menjawab pertanyaanku. Maafkan aku, bukannya menjawab pertanyaanmu terlebih dahulu malah kembali melontarkan pertanyaan dengan mengabaikan pertanyaan milikmu." Aku bertutur dengan wajah bersalah.

"Tidak masalah, saya mengerti kalau Anda terkejut saat terbangun karena mendapati sudah tidak berada di langit lagi," balas pramugari tersebut memaklumi. Aku mengangguk, meski dia sudah memaafkan tetap saja aku merasa tak enak hati.

"Sekali lagi aku minta maaf."

"Tidak apa-apa, Nona."

Aku bangkit sembari menggenggam tas gitar, sejenak tubuhku sedikit oleng dengan kepala merasa berdenyut nyeri, tubuhku langsung ditahan oleh pramugari. Ia mengatakan untuk hati-hati saat berjalan dan memintaku untuk beristirahat sejenak di terminal bandara. Aku mengangguk dan mengucapkan rasa terima kasih dibalas anggukan darinya, aku pergi menuju pintu garbata dengan langkah pelan sembari tangan kiri menyentuh tiap kursi membantuku untuk berjalan.

"Segarnya ...."

Aku berkata demikian seusai membasuh wajah di toilet bandara, sensasi hangatnya air membuat wajahku kembali segar. Beberapa kali aku membasuh wajah hingga dirasa cukup, tangan kanan bergerak untuk menutup keran air. Lalu lengan kanan bergerak menuju wajahku dan mengusapnya dengan lembut, menyeka setiap bulir air sehabis membasuh.

Aku meraih tas besar dan menggendongnya lalu kembali meraih tas gitar, kulangkahkan keluar toilet menuju pintu keluar terminal bandara. Selama berjalan keluar terminal, aku melihat berbagai aksesoris khas natal dimulai pohon natal sampai ornamen-ornamennya.

"Sebentar lagi akan natal ya," gumamku dengan atensi tak beralih dari aksesoris natal.

Sekarang aku sudah keluar dari terminal, tinggal mencari transportasi umum untuk bisa pergi ke apartemen yang telah kupesan tiga hari lalu.

"Lebih baik naik dengan taksi atau bus?" tanyaku seorang diri. Kedua mataku melirik ke kanan dan kiri dengan isi pikiran memikirkan jawaban yang telah kulontarkan untuk diri sendiri. Sekilas, aku melihat sebuah taksi dan seorang pria dengan sebuah tas ransel cokelat tua menutup pintu taksi berada tak jauh dari tempatku berdiri lalu pergi meninggalkan kendaraan beroda empat tersebut. Lirikanku masih tertuju pada obyek yang sama, pikiranku pun telah menemukan jawabannya.

❬Christmas : Kujo Tenn x Oc❭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang