Christmas : 04

42 11 63
                                    

"I have died every day waiting for you

Darling, don't be afraid ...."

Ruangan baby blue dipenuhi dengan senandung kecilku, senandung itu menemaniku menghabiskan waktu menatap lembayung di nabastala. Aku menyenderkan tubuh di dinding dingin, atensi masih tak teralihkan dari yang lain. Penampakan di nabastala begitu nirmala, guratan merah kejinggaan menghiasinya bagaikan kue dengan krim. Guratan itu begitu sempurna, bahkan mengalahkan sempurnanya mahakarya sang maestro pelukis.

"I will not let anything, take away.
What's standing in front of me.
Every breath, every hour has come to this."

Aku bersenandung lagi, kedua kelopak mata perlahan tertutup, membiarkan sebuah euforia menghampiriku. Euforia itu datang, menyapaku dengan bisikan-bisikan memabukan, membuaiku untuk terus larut di dalamnya. Aku menikmatinya, lagipula ini merupakan salah satu healing yang kupunya sekaligus kesukaanku.

Entah kenapa aku merasa suatu euforia begitu familiar berada di dalam diriku, euforia yang kurindukan selama singgah di negara kelahiran. Sebuah sekolah tempatku menimba ilmu bersama teman terdekat datang memasukiku, menyapaku dengan lembut. Ah ... bagaimana kabar mereka sekarang, ya? Apa mereka sudah sukses, dalam keadaan sehat dan bahagia atau justru sebaliknya?

"Bagaimana kabar kalian, teman lamaku?" Aku bermonolog, menanyakan kabar teman lama dengan perantara sang bayu. "Kalian baik-baik saja, bukan? Maafkan aku yang telah lama tidak mengontak kalian lagi."

Kedua kelopak mata perlahan terbuka kembali, menampilkan iris silver cantik milikku. Tatapan mataku berkilat sebongkah kerinduan, kerinduan akan masa-masa indah dalam hidupku.

"Kuharap bisa bertemu salah satu dari kalian di sini, di kota Tokyo."

"Ramai juga, ya. Sama seperti kota London."

Aku berkomentar saat melihat suasana ibukota Jepang begitu ramai, keramaiannya hampir sama dengan kota London. Hiruk pikuk perkotaan di bawah turunnya salju tak menyurutkan masyarakat setempat untuk hilir mudik menuju destinasi masing-masing. Begitupula denganku, aku berniat untuk mengunjungi berbagai macam tempat seperti kafe, toko buku bahkan tempat suci untuk para idol tampil, Zero Arena.

Wuuss~

Semilir angin malam khas musim dingin menerpa siapa saja yang lalu lalang, menerpa dengan udara dingin menusuk, seyogyanya engkau ditikam seseorang dari belakang. Kedua tanganku bergerak untuk merapatkan mantel musim dingin, berharap dengan cara ini mampu menahan rasa dingin menusuk.

Omong-omong tujuanku saat ini ingin ke Zero Arena, tempat suci untuk para pemusik hebat dan andal. Aku memilih untuk berjalan kaki, alasannya tak lain ingin lebih menikmati suasana musim dingin di Tokyo dan momen yang terjadi tiap waktu.

Keheningan, riuh rendah kendaraan menjadi teman perjalananku dan aku sendiri menikmatinya. Sesekali aku mengeluarkan tablet dari dalam sling bag, menatap layar benda pipih yang menunjukkan arah perjalanan untuk memastikan apakah telah benar jalan yang kulewati atau salah?

Setelah melihat bahwa jalan yang kulewati benar dan sebentar lagi akan sampai, aku kembali memasukkan tablet ke dalam sling bag dengan baik. Aku mengubah langkah kaki menjadi lari kecil, berlari-lari kecil agar sampai di Zero Arena.

"Jadi ini yang namanya Zero Arena ...."

Aku memandang sebuah bangunan megah nan artistik dari seberang dengan kagum, bentuk dari bangunan itu mengingatkanku akan sebuah gedung opera dari Australia. Jika diamati secara baik-baik sekilas agak mirip, kedua bangunan tersebut memiliki ujung yang runcing seperti tanduk, hanya saja Zero Arena hanya memiliki dua bangunan dengan ujung runcing di bagian kanan dan kiri yang saling menyatu.

Suasana di sekitar Zero Arena sangat lengang, kehadiran orang-orang untuk mendatangi area sekitarnya minim sekali dan itu bisa dihitung dengan jari. Tapi tak mengapa, aku menyukai suasana seperti ini. Aku berjalan menuju pagar pembatas, memegang lalu membersihkan dari kepingan salju kemudian duduk di atasnya dengan arah pandang menuju Zero Arena.

Wuss~

Angin semilir malam menyapaku dengan lembut, ia mendatangiku sembari membelai anak rambut dengan lembut, terkadang mengajak mereka, anak rambut bermain dengannya. Aku membiarkannya melakukan hal yang disukai, jika itu mengganggu pandangan, segera kusingkirkan dan merapikan kembali anak rambut.

Kepingan salju masih turun dari langit, menari-nari dengan anggun. Mereka menari dengan gerakan lamban seolah ada yang menahan untuk turun dengan cepat, mereka pula jatuh dari langit seolah sedang menyampaikan sebuah peristiwa yang akan terjadi hingga musim semi tiba. Setiap kepingan salju menyimpan satu memori, memori tiap manusia yang ditemuinya, memori manis, pahit bahkan memilukan, ia simpan dengan baik. Kepingan salju itu aku menganggapnya sebagai kaset, kaset memori musim dingin yang akan dipertontonkan di depan khalayak umum suatu hari nanti.

Aku mendongak dan melihat ada sekeping salju sedang mendatangiku dengan gerakan lamban. Segera kuulurkan kedua tangan, menanti sang kepingan salju mendarat begitu mulus di sini. Perlahan namun pasti, ia mendekat lalu rebah dengan manis di kedua telapak tanganku. Menarik uluran tangan lalu memandangnya dari dekat. 'Cantik,' pujiku dalam hati. Perlahan aku membelainya menggunakan tangan kiri dengan lembut dan penuh kehati-hatian selayaknya ia barang berharga dan rapuh.

Jika kalian bertanya, memang benar kepingan salju sebenarnya rapuh? Akan kujawab. benar. Satu kepingan salju mudah rapuh, retak jika tidak hati-hati dalam menyikapinya, sama hal dengan perasaan. Perasaan seseorang pada dasarnya begitu lembut laksana sutera, disakiti barang sekali saja mulai retak ia. Namun, tak semua orang secara terang-terangan mengungkapkan kondisi perasaan miliknya, ada sebagian yang menutupinya dengan cara tersenyum kecil namun mengandung beribu arti. Mereka tersenyum kecil dan mengatakan 'Aku baik-baik saja' memiliki arti yang sebaliknya. Mereka menyembunyikan sebuah luka teramat dalam dan menyakitkan bila berterus terang, mereka tak ingin satu orang pun tahu bahwa sedang terluka. Cukup diri sendiri dan Tuhan yang tahu, jangan yang lain.

"Menyembunyikan sebuah luka dari setiap masa tidaklah mudah," desisku seorang diri.

"Tidak sopan seorang gadis sepertimu duduk di pagar pembatas."

Deg!

Sebuah suara teguran tertangkap di indera pendengarku, suara yang begitu familiar dan kukagumi sejak lama. Dalam buaian sang waktu dan suara, aku merasa seluruh anggota tubuh mulai membeku. Rasa beku itu perlahan menjalar ke seluruh tubuh selayaknya kekuatan es yang sedang membekukan lawannya. Dalam tubuh, entah kenapa gumpalan darahku ikut membeku, membuatku berdecak kagum sekaligus membingungkan. Kenapa hanya suara saja mampu membuatku membeku?

"Kau akan terjatuh ke dalam danau jika duduk di sana, Nona."

Sejenak aku menggeleng samar, meruntuhkan rasa membeku itu agar leluasa bergerak. Segera kutolehkan ke arah kiri dan tatapanku beradu dengan tatapannya. Ia, seorang laki-laki dengan helai rambut baby pink membesarkan kedua pupilnya di balik kacamata yang dikenakan, ekspresi terkejut akan kehadiranku di sini secara tiba-tiba.

Aku masih menatapnya dalam, menatap setiap inchi wajah tampan dan manis yang kurindukan. Tunggu sebentar, apa yang telah kupikirkan?

Ia terlihat menggerakan bibirnya seakan mengucapkan sepatah maupun dua patah kata keterkejutannya, tetapi menutupnya kembali.

Aku tersenyum samar ke arahnya. Sejenak kuubah posisi duduk menyerong ke kiri dengan senyuman samar yang masih berada di wajahku.

"Lama tak bersua, ya." Aku berkata demikian dengan nada agak hangat. "Kujo Tenn, center TRIGGER sekaligus teman lamaku."

To Be Continued!

❬Christmas : Kujo Tenn x Oc❭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang