Aku terbangun tanpa ingatan, orang-orang menyebutnya amnesia, namun aku tidak yakin mengidapnya. Mataku menatap kosong langit-langit ruangan, bau obat dari infusan menyeruak, tidak ada seorang pun yang menemaniku di sini. Aku pikir mereka sudah muak melihatku hanya terbaring koma di atas ranjang rumah sakit, namun salah satu perawat bilang kalau mereka sudah meninggalkan hayatnya. Aku termenung mendengarnya, mengangguk lemas, tidak tahu ekspresi apa yang harus aku keluarkan.
"Saya sangat bersyukur akhirnya Nona siuman." Perawat itu tersenyum hangat menyambutku. Ia menaruh nampan di atas meja untukku. "Kemarin ada pria yang berkunjung menjenguk Nona, katanya dari kota. Dia sangat mengenal Nona, seperti teman lama, tapi dalam laporan polisi tujuh tahun silam Nona tidak mengenalnya," jelasnya mengambil sesendok nasi untuk disuap.
Aku menggeleng lemah, "Biar saya saja, Perawat Katrina. Anda pasti lelah menemani saya sepuluh tahun terakhir." Aku mengambil paksa sendoknya, perawat itu hanya tersenyum, jejeran giginya terpampang.
"Kenapa dia tidak pergi dari sini?" pikirku menyuap sendok ke dalam mulut.
Untuk saat ini aku tidak tahu bahkan tidak peduli dengan keadaanku sekarang–mengenai siapa diriku, siapa saja dari keluargaku, dan teman-temanku yang datang untuk menjenguk. Perawat Katrina bilang semua orang menangisi diriku di dalam ruangan ini, beberapa dari mereka menggenggam tanganku erat, memintaku untuk terus bertahan agar ia tidak ditinggalkan sendiri di dunia ini. Bagiku cukup mendengar mereka menjenguk dan menangis terisak untukku di ruang putih ini.
Aku tersenyum mendengarnya. "Bagus ada yang peduli denganku," gumamku pelan.
Perawat itu mengelus lembut suraiku, ia tidak berkutik dari tempatnya. Saat ini ia sedang mencatat tugas hariannya alih-alih melakukannya diluar ruang. Aku berdeham, memberi kode agar ia keluar. Namun ia malah menatapku nyalang, panik memberiku minum–yang mau tidak mau harus aku tenggak.
"Hati-hati, Non." Aku memutar bola mataku malas menjawabnya.
Sepertinya percuma jika aku menyuruhnya keluar ruangan, pasti ia akan menolak dengan dalih sudah tugasnya. Karena itu aku kembali menyuap makanan di atas meja, tidak memedulikan keberadaannya.
"Apakah Nona tidak penasaran dengan identitas Nona?" Kalimat itu tiba-tiba saja bersuara dari mulut sang perawat.
Aku menggeleng yakin sebagai jawaban. Dokter menyebut namaku sesaat sebelum aku benar-benar membuka mata. "Apakah Nona Gentara sudah bangun, Katrina?" Sebenarnya aku hidup di tahun berapa sampai mereka harus memanggilku dengan embel-embel nona? Apakah aku keturunan bangsawan sampai wajib menggunakan embel-embel itu?
"Lebih baik saya menggunakan nama baru, Perawat Katrina." Jujur saja aku sebenarnya juga penasaran dengan masa laluku. Mengapa aku sangat membencinya? Membenci masa laluku, teman-teman, bahkan keluargaku.
"Apakah Nona mengingat sesuatu?"
Mengingat? Tidak bisakah kamu memberiku sedikit petunjuk tanpa aku pinta? Di dalam tidur panjangku, yang aku ingat hanya satu. Sesosok cahaya mendatangiku saat aku berbaring di atas rerumputan bunga, ia lebih terang dari matahari yang aku lihat saat itu, bahkan cahayanya memakan seluruh cahaya dari matahari itu sendiri. Sesosok cahaya itu menawarkanku perdamaian pada masa lalu dan menjanjikan kehidupan yang bahagia. Aku tidak yakin, tapi aku mengiyakan tawarannya. Dan berakhir dengan silau cahayanya yang membangunkan tubuhku dari tidur panjangnya.
Sekarang, apakah aku menyesalinya?
Separuh jiwaku berkata iya, namun separuhnya lagi tidak. Dominan yang berkata tidak berkata bahwa masa laluku sangat indah untuk dilupakan dan keputusanku di masa lalu itu adalah kekeliruan.
Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan perawat cantik itu. Perawat itu lagi-lagi memamerkan giginya, ia mengelus lembut tangan kananku yang kosong. Nafsu makanku tiba-tiba saja berkurang, sepertinya wanita ini ingin memberiku sedikit petunjuk mengenai masa laluku, aku penasaran.
"Biar saya bantu, Nona, meski Dokter berkata padaku sebaiknya jangan lakukan ini." Perawat Katrina membereskan makanan yang berserakan di atas meja. "Nama Nona adalah Gentara Kidung, anak sederhana dengan ekonomi serba kekurangan. Keluarga Nona bahkan tidak peduli dengan kehidupan Nona, mereka hanya menyayangi Nona sampai Nona menginjak usia tujuh belas tahun, masa jayanya Nona."
"Nona adalah gadis pintar di Sekolah Menengah Kejuruan, tepatnya di jurusan Bisnis Daring dan Pemasaran. Orang tua Nona begitu bangga mempunyai anak seperti Nona, sampai pada akhirnya mereka berlaku tidak baik pada Nona saat Nona gagal memenangkan seleksi perguruan tinggi. Nona hancur- tidak, sangat hancur melihat pertengkaran mereka setiap hari," Penjelasan Perawat Katrina terlalu detail hingga aku mengerutkan dahi, bingung. Perawat itu menggeleng, menyilangkan tangannya tidak setuju diberi tatapan demikian. "S-saya adalah pembantu tetangga Nona. Sa-saya sering mendengar keributan di sana, maafkan saya jika saya lancang, Nona." Ia tertunduk, tidak minat melanjutkan.
Aku mengangguk. Seburuk itukah keluarganya?
"Lanjutkan saja, Perawat Katrina," pintaku memaksa.
Perawat itu terdiam, menatapku lekat, dan mengangguk, "Baiklah, kalau itu mau Nona," katanya. Ia kembali menarik napas, ada air mata yang turun dipelipisnya. "Semenjak itu Nona sering pulang malam. Sepertinya Nona tidak ingin pulang ke rumah. Malam itu Nona turun dari mobil teman Nona, kembali mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Sayangnya Nona ketahuan oleh pasukan ronda dan menjadi bahan omongan kampung. Keluarga Nona malu mendengarnya sehingga Nona dikurung di dalam kamar sendirian. Saya bisa dengar dengan jelas tamparan, pukulan, dan teriakan itu. Saya tidak berani menegur keluarga Nona karena hal itu."
Kepalaku pusing mendengarnya, memori pelan-pelan datang menayangkan semuanya. Ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Perawat Katrina menyeka air matanya, "Malam Senin Nona terlihat mengendap-endap keluar dari rumah. Saya menyapa Nona, bertanya, "Mau kemana?" namun tidak sama sekali Nona acuhkan. Malam itu menjadi malam terakhir saya melihat Nona."
Aku menatapnya kasihan, sepertinya hari itu perawat Katrina juga mengalami kesialan. "Dua hari setelah kabar menghilangnya Nona, saya dipecat dari pekerjaan saya, katanya kerja saya tidak cakap. Dengan terpaksa saya harus kembali ke kota, kampung halaman saya." Perawat Katrina tersenyum kembali, kali ini lebih terang. "Beruntung saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan sarjana, sehingga saya bisa berada di sini, menemani Nona Gentara."
Aku tertawa kecil, setidaknya ia bisa bahagia dengan apa yang di dapat saat ini. "Ya ampun, kenapa saya malah curhat?" Tawanya pun ikut menggema di dalam ruang putih itu.
Saat itu juga dokter datang ke ruanganku, di belakangnya terdapat pria dengan hoodie hitam dengan celana jeansnya. Aku mengerjap, kepalaku pusing melihatnya, pandanganku sedikit kabur sampai ingatanku kembalj memukul kepalaku.
"Gertana?" Matanya berbinar menatapku. Air matanya tidak lagi bisa ia bendung. Pria itu memelukku erat, mengabaikan peringatan dokter dan perawat. "Aku merindukanmu.." lirihnya membuatku merinding.
"Siapa orang ini?" tatapanku bertanya kepada sang dokter.
Dokter itu menjawab, "Ini Tuan Muda Van Drè, Nona."
Kepalaku tidak berhenti berputar, pusing hingga membuatku mengernyit dalam. Tuan Muda Van Dré kemudian berbisik, "Aku teman lamamu, Tana, operator tanggap darurat yang kamu telepon sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidup, aku yang bertanggung jawab mempertaruhkan keadilanmu dipengadilan, dan yang paling terpenting," Ia semakin mengeratkan pelukannya. "Aku yang menjengukmu kemarin."
Aku pusing, tidak bisa berpikir lagi, tayangan memori itu seperti ratusan episode film di bioskop tiga dimensi yang tidak boleh dilewatkan oleh siapapun. Aku meringis sebelum pandanganku benar-benar memudar. Dari tampilan memori yang terakhir kali aku lihat adalah aku yang jatuh ke dalam sungai, kepalaku terbentur batu di dasarnya, mataku kehilangan penglihatan karena kotornya. Aku bisa mendengar suara orang berteriak.

KAMU SEDANG MEMBACA
JEMARI [Cerita Pendek]
Storie breviSetiap manusia memiliki ceritanya masing-masing. Baik itu jalan hidup, cinta, dan titik dimana dunia seolah tidak memihaknya. Buku ini akan mengenalkan rasa itu, mendeskripsikannya sebaik mungkin agar rasa sesak di dada itu terhenti. Lembaran baru a...