Aku menemani Mbak Silvi yang sudah mendapatkan penanganan di ruang IGD. Sementara Mas Raka menghubungi keluarga di luar ruangan.
"Sakit banget, Suster." Mbak Silvi kembali merintih.
"Sebentar ya, Buk. Biar saya pasang infusnya dulu," jawab suster menenangkan. Aku hanya bisa melihat mereka menanganinya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Tak lama Mas Raka masuk dan langsung mendekati istrinya itu. Kata Dokter, kandungan Mbak Silvi yang baru berusia tiga minggu sangat lemah. Agak berbahaya jika terlalu stres dan banyak pikiran.
Aku pun tak terlalu paham apa istilah yang kudengar dari Dokter tadi. Untungnya saat ini kandungannya tidak apa-apa, namun tetap harus menginap sampai keadaannya benar-benar pulih dan janinnya kuat.
Mas Raka setuju saja. Asal istri dan anaknya baik-baik saja. Sampai di ruangan, aku membantu Mbak Silvi untuk menyeka badannya yang tadi sempat berkeringat. Hanya saja tak ada pakaian ganti yang bisa aku pakaikan. Betapa risihnya dia harus berbaring memakai terusan brokat seperti ini.
"Dek, bisa tolong jagain Mbakmu. Biar Mas pulang dulu mengambil keperluan yang dibutuhkan."
"Iya, Mas. Biar Delima yang jagain Mbak Silvi," jawabku.
"Nggak apa-apa aku tinggal kan, Sil? Sebentar lagi Mama datang, kok." Mas Raka menenangkan istrinya dengan tak melepaskan genggaman tangan pada Mbak Silvi.
Dan tiba-tiba Mama sudah muncul dalam ruangan. Ditemani Mas Deni, sepupu Mas Raka yang tadi siang mengobrol denganku.
"Lho, Mama udah sampai?" Mas Raka langsung mencium tangan Mama. Begitu pun juga aku.
"Iya, Ka. Untung Deni masih belum pulang. Jadi Mama buru-buru minta dianterin ke mari." Mas Deni tersenyum pada kami.
"Ok, Den. Tengkyu, ya. Jadi ngerepotin," ucap Mas Raka.
"Enggak lah. Santai aja, Ka," jawab Mas Deni.
"Keperluan Silvi sudah diambil, Ka?" tanya Mama lagi.
"Ini Raka baru mau pulang, Ma. Biar Delima yang jagain Silvi sementara di sini."
"Delima ajak pulang aja dulu, Ka. Biar Mama sama Deni yang jagain. Pasti dia juga merasa tidak nyaman dengan pakaian seperti itu."
Benar. Tubuhku sangat risih dan juga merasa lengket. Seharian mengikuti acara hajatan dan juga ikut membantu hingga berkeringat. Ditambah lagi pakaian berbahan dasar brokat yang membuatku tak nyaman untuk bergerak ke sana kemari.
Aku melirik ke arah Mbak Silvi. Dia memasang tampang cemberut pada suaminya. Dia pasti tak suka kalau aku pulang bersama Mas Raka. Tapi sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Dia tidak melarang, atau membantah perintah Mama. Dia terlihat sangat patuh pada mertuanya itu.
Aku pamit pada Mbak Silvi saat Mas Raka dan yang lain sedang ngobrol di luar.
"Delima," panggil Mbak Silvi yang tampak masih lemah.
"Iya, Mbak."
"Kamu... masih datang bulan, kan?" Dia bertanya tanpa rasa ragu.
Dia pasti khawatir kalau Mas Raka dan aku menunaikan kewajiban kami sebagai suami istri. Padahal sebelum-sebelumnya, dialah yang mewanti-wanti agar kami selalu tidur bersama.
Sebenarnya sejak tadi pagi, aku sudah keramas. Mensucikan diri dengan mandi besar. Hanya saja aku mandi pagi-pagi sekali, hingga saat sudah mau berangkat, rambut yang tadinya basah sudah mengering. Hingga tak menimbulkan kecurigaan pada Mbak Silvi.
Namun demi kesehatannya, ada baiknya aku sembunyikan saja. Dari pada dia kembali stres dan berpikiran macam-macam, mengingat aku dan Mas Raka hanya berdua saja malam ini di rumah.
"Masih kok, Mbak," jawabku tanpa mempertanyakan alasan, kenapa dia bertanya.
"Ya, sudah. Begitu selesai, langsung kembali ke sini, ya. Jangan lama-lama di rumah. Mbak nggak ada temennya." Aku tahu dia hanya beralasan.
"Baik, Mbak. Nanti Delima bilang sama Mas Raka, biar langsung balik."
Aku pun keluar dan pamit pada Mama dan Mas Deni.
*
Canggung juga rasanya berada dalam satu mobil bersama Mas Raka. Laki-laki yang menjadi suamiku, namun jarang sekali berbicara hal-hal tidak penting padaku. Padahal kalau sama Mbak Silvi dan keluarga lainnya, Mas Raka terlihat sangat ramah dan juga banyak bicara. Mungkin memang dia benar-benar merasa tidak nyaman saat bersamaku.
Perjalanan kami terasa sangat kaku. Aku yang baru kali ini duduk sejajar dengannya di kursi depan, tak berani melihat. Hanya bersandar, dan membuang pandangan ke arah jendela.
"Kamu ngantuk, Delima?" Tiba-tiba saja suara Mas Raka menegurku. Aku yang sama sekali tidak menyangka langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya.
"Eh, enggak kok, Mas. Delima nggak ngantuk. Ada apa, Mas?"
"Nggak apa-apa kalau memang ngantuk. Hari ini kan kita semua memang capek. Nanti kamu tinggal aja di rumah. Biar Mas sendiri yang jagain Mbakmu."
Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar saat dia berbicara padaku.
"Nggak usah, Mas. Delima ikut aja. Nanti selesai mandi, dan mengambil keperluan Mbak Silvi, kita langsung berangkat aja, ya," pintaku, seperti perintah Mbak Silvi tadi.
"Memang kamu nggak capek? Besok aja Mas jemput kamu. Lagian di sana udah ada Mama dan juga Deni. Besok baru gantian."
"Enggak usah, Mas. Delima ikut aja." Aku tetap bersikeras.
"Atau jangan-jangan kamu nggak berani ya, tidur sendiri di rumah?" Mas Raka seperti sedang menggodaku. Atau itu hanya perasaanku saja.
"Delima nggak takut, kok. Cuman kasihan, nanti kalau Mbak Silvi butuh apa-apa, gimana?"
"Wah, kamu baik banget," ucapnya. "Makasih ya, udah perhatian. Mas senang kalau hubungan kalian baik-baik aja." Dia terlihat tulus saat mengucapkannya.
Bukankah seharusnya kata cerailah yang akan dia ucapkan padaku malam ini. Ternyata Allah masih melindungiku. Setidaknya sampai Mbak Silvi benar-benar pulih.
Aku juga tak menyangka, kalau Mas Raka benar-benar bicara banyak padaku malam ini. Dan tiba-tiba saja hal ini membuatku merasa nyaman berada dekat dengannya. Aku takut sekali jika benar-benar akan jatuh cinta padanya suatu hari nanti.
Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku. Sementara Mas Raka masuk ke kamar Mbak Silvi. Ya, tentu saja. Untuk apa dia berada di kamarku. Meskipun kami sudah sah menjadi suami istri, tapi tetap saja Mas Raka tidak memiliki pikiran yang sama denganku.
Saat aku sudah tertidur pun, dia yang tadinya tidur di sebelahku, bisa pindah ke kamar Mbak Silvi. Lalu apa yang bisa kuharapkan dari malam ini. Memberi tahukannya bahwa aku sudah suci, dan meminta dia untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami?
Mana mungkin. Dia pasti tak akan pernah menggubrisku. Aku yang hanya gadis kampung ini, pasti tak sesuai dengan seleranya. Tak Seperti Mbak Silvi yang selalu tampil modis dan juga modern.
Aku keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk sebatas paha, dan juga handuk menutupi kepala. Rasanya begitu segar satelah mandi dan keramas. Namun tiba-tiba saja Mas Raka muncul tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Aku yang sebelumnya tak pernah berpakaian seminim ini di hadapannya, sontak kelabakan dan langsung bersembunyi di balik pintu lemari yang baru saja aku buka. Mas Raka juga tak kalah terkejut, lalu membalikkan badan agar tak melihatku dalam kondisi seperti ini.
Tidakkah sikap kami terlihat sama-sama aneh? Pernikahan macam apa ini.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Istri Tua Suamiku Hamil(selesai)
General FictionMereka yang melamarku dan sekarang mereka juga yang ingin mencampakkan aku....