"Eh, Maaf Dek. Mas masuk nggak ketuk pintu dulu. Mas tunggu di luar aja, ya." Mas Raka langsung melangkah keluar dengan cepat-cepat, dan kembali menutup pintu.
Aku memegangi jantungku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang. Kenapa Mas Raka malah meminta maaf. Bukankah dia juga punya hak untuk melihatku. Lagi pula, tak seharusnya juga aku bersembunyi dan menutup erat tubuh ini.
Usai berpakaian, aku segera keluar untuk menemui Mas Raka. Kulihat dia duduk sambil memainkan telepon genggamnya di ruang tamu.
"Eh, Dek. Kamu jadi ikut?" Mas Raka terdengar gugup dan salah tingkah. Dia pasti masih memikirkan hal tadi.
"Iya, Mas. Kasihan kalau Mama yang nungguin. Nanti Mama sama Mas Deni disuruh pulang aja. Delima udah biasa kok jagain pasien di rumah sakit. Dulu waktu Bue operasi, Delima juga, kok yang jagain."
"Iya. Mas tau. Sekali lagi, terima kasih ya, Dek. Mas jadi merasa tidak enak sama kamu."
"Nggak enak kenapa, Mas?" Apa dia masih ingin membahas soal di kamar tadi? Atau tentang niatnya menceraikan aku?
"Anu, itu. Sebenarnya...."
Tiba-tiba ponsel Mas Raka berdering. Dengan cepat dia menjawab panggilan itu.
"Iya, Ma. Lho, kok gitu? Tapi, Ma....Ya sudah. Tapi kalau ada apa-apa, langsung hubungi Raka, ya." Dia terlihat kecewa, sembari mengusap wajahnya.
"Ada apa, Mas?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Mama nyuruh kita besok pagi aja datengnya."
"Lho, kenapa? Nanti Mbak Silvi marah lho, Mas," jawabku dengan berani.
Aku tahu, Mas Raka bisa dimarahi habis-habisan nanti, kalau tahu aku dan Mas Raka bermalam berdua saja di rumah ini.
"Silvi pasti juga nggak bisa berbuat apa-apa, Dek. Mana berani dia membantah perintah Mama."
Benarkah? Pantas saja dia tak berani menyinggung soal kalung yang diberikan oleh Mama padaku. Malah menumpahkan kekesalannya pada Mas Raka.
"Tapi kan kasihan Mama, Mas. Kasihan nanti kalau tengah malam, Mbak Silvi butuh apa-apa."
"Ada Mbak Dian yang baru datang sama suaminya. Sekalian bawain pakaian ganti buat Silvi. Makanya di sana udah rame banget."
Oh, begitu rupanya. Ternyata Mama memang sangat baik. Jarak dari rumah kami ke rumah sakit memang lebih jauh dari jarak ke rumah Mama. Untuk itu dia pasti meminta pada kakak tertua Mas Raka agar lebih cepat membawakan pakaian ganti untuk Mbak Silvi.
"Jadi, Mas tetap nggak jadi pergi?"
"Nurut aja lah, Dek. Dari pada ngebantah orang tua. Lagian kata Mama, dia juga takut kalau kamu kecapean bolak-balik ke sana."
Aku hanya mengangguk saja. Tidak tahu mau bilang apa lagi. Mama Mas Raka terlalu baik padaku.
"Oh, iya, Dek."
"Ada apa, Mas?"
"Anu."
"Anu, kenapa, Mas?"
"Soal yang tadi. Mas minta maaf, ya. Udah lancang masuk ke kamar kamu tanpa permisi."
"Enggak kok, Mas. Mas nggak salah. Ini kan rumah Mas. Kamar itu juga kamar kita. Mas nggak perlu permisi kalau mau masuk. Lagi pula, Delima kan juga istri Mas. Seharusnya Delima yang minta maaf karena sudah menutup tubuh Delima begitu saja. Tubuh yang seharusnya juga boleh Mas lihat." Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
Apa itu berarti aku mulai mengharapkan Mas Raka sebagai seorang suami? Berharap Mas Raka juga menganggapku sama seperti Mbak Silvi?
Tanpa sadar aku dan Mas Raka kini saling menatap. Hanya saja tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Lalu tiba-tiba saja aku tersadar saat mengingat ucapan mereka saat di rumah Mama. Aku langsung membuang jauh pikiran tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Istri Tua Suamiku Hamil(selesai)
Ficção GeralMereka yang melamarku dan sekarang mereka juga yang ingin mencampakkan aku....