Diundang Kerumah Mertua

329 18 2
                                    

“Mbak mau bicara apa?” Bibirku bergetar mempertanyakan hal yang pasti sudah aku tahu.

Namun, sanggupkah ia melakukan semua ini padaku? Pada sesama wanita yang dia bilang sudah seperti adik baginya?

“Begini, Delima. Saat ini Mbak itu sedang....”

“Sayang.” Suara Mas Raka tiba-tiba terdengar dan muncul mendekati kami. “Mama mau ngomong sama kamu, nih,” ucapnya pada istrinya sembari memberikan ponsel yang sedang menyala.

Mbak Silvi terlihat panik, lalu dengan cepat meraih ponsel itu.

“Iya, Ma.”

"Iya, iya."

“Besok Silvi dan Mas Raka akan datang lebih awal.”

“Delima?” Dia melirik ke arahku. “Iya, iya. Pasti silvi ajak dong, Ma. Dia kan juga istrinya Mas Raka.” Aku melihat mimik wajahnya yang sepertinya sedang kecewa. Entah apa yang mereka bicarakan barusan.

Dia menarik napas setelah panggilan dimatikan. Lalu kembali menoleh ke arahku.

“Mbak tadi mau bicara apa?” tanyaku sembari menatap wajahnya dan Mas Raka secara bergantian.

“Oh, itu.” Mbak Silvi kembali memasang senyum manis. Tak seperti saat pertama kubukakan pintu tadi. “Mbak mau ngajak makan malam. Ayuk kita makan sama-sama. Biasanya kamu yang selalu ngingetin. Iya kan, Mas?” Kulihat Mbak Silvi menyenggol lengan Mas Raka dengan sikunya.

"Eh, iya benar. Ayo, Dek. Kita makan." Seperti biasa, hanya seperti itu saja basa-basi dari Mas Raka.

Apa benar hanya itu yang ingin dia ucapkan? Jelas-jelas aku mendengar sendiri bahwa dia ingin aku bercerai dari suaminya. Tapi syukurlah, setidaknya aku masih bisa berada di sini malam ini.

“Delima masih kenyang, Mbak. Tadi pas masak sambil nyicipin.” Aku beralasan. Padahal memang sudah tak ada lagi berselera.

Sejak tinggal di rumah ini, memang aku yang mengambil alih hampir semua tugas di rumah. Karena biasanya di rumah ini Mbak Silvi tidak memakai asisten rumah tangga dan mengerjakan semuanya sendiri.

Hal itu dia lakukan karena dirinya tak bekerja, dan mereka belum memiliki anak. Jadi tak terlalu merepotkan. Selain itu, dia bilang mamanya Mas Raka paling tidak suka melihat wanita yang manja. Wanita itu harus mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain.

“Oh, iya, Delima. Besok pagi kamu siap-siap, ya. Ada hajatan di rumah Mas Raka."

“Iya, Mbak.” Aku hanya menurut tanpa bertanya ada apa. Sepertinya memang karena inilah dia mengurungkan niatnya untuk mengatakan hal tadi.

*

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah mertuaku usai menikah. Baik Mbak Silvi dan Mas Raka belum pernah sekalipun mengajakku ke sini. Meskipun aku telah mengenal keluarganya saat akad nikah tempo hari.

Mereka juga terlihat baik, dan tak mempersoalkan statusku sebagai istri ke dua. Malah terlihat ramah dan menganggapku juga bagian dari keluarga. Aku benar-benar merasa diterima.

Rupanya ada acara tujuh bulanan adiknya Mas Raka di rumah ini. Adiknya Lara, yang menikah satu tahun yang lalu. Pantas saja Mbak Silvi ingin cepat-cepat Mas Raka menikah dan punya anak, walaupun dengan wanita lain. Dia juga ingin menyenangkan hati mertuanya dengan memberikan seorang cucu.

Ya, Allah, apa yang akan terjadi setelah mereka tahu bahwa Mbak Silvi hamil? Apakah mereka juga akan ikut-ikutan membuangku yang sudah tidak berguna ini?

Dari pada sibuk memikirkan hal yang bukan-bukan, aku pun menyibukkan diri dengan membantu mengerjakan persiapan. Kulihat  Mbak Silvi selalu tertawa manja pada Mas Raka menjauh dariku. Seperti menganggapku tak ada dan bukan bagian dari mereka.

Entah kenapa hatiku mendadak sakit. Apakah ini artinya aku cemburu? Atau hanya merasa tak diperlakukan adil sebagai seorang istri? Entahlah. Mungkin inilah resiko dari menikah dengan laki-laki yang sudah menaruh hati pada wanita lain.

“Wah, kamu rajin sekali, Delima." Mama mertua tersenyum ramah padaku.

"Nggak papa, Ma. Dari pada bengong nggak ada kerjaan," sahutku dengan sopan.

"Sudah, bantu seadanya saja. Lagian ngapain kamu bengong-bengong. Mana Suami kamu sama Silvi? Kok dari tadi nggak keliatan. Bukannya bantu-bantu, malah ngilang."

"Ada kok, Ma. Tadi Delima lihat mereka di ruang keluarga."

"Oh, ya sudah. Ikut Mama, yuk. Mama mau ngasi sesuatu sama kamu."

"Iya, Ma." Lagi-lagi hanya itu yang aku ucapkan tanpa bertanya ke mana dan mau diberi apa.

Aku mengikuti Mama dari belakang. Melewati ruang keluarga dan kembali melirik ke arah mereka. Segera kualihkan pandangan begitu saja karena tak ingin merasakan sakit yang sama.

"Nanti ganti pakai seragam ini, ya. Berikan juga sama Silvi. Kemarin baru selesai dijahit. Jadi nggak sempat ngirim buat dicobain. Sekalian itu batik, kasi sama suamimu."

Aku menerima tumpukan baju berbahan brokat dari tangan Mama. Kainnya bagus dan terlihat mahal. Aku merasa tersentuh diperlakukan seperti ini. Setidaknya Mamanya Mas Raka lebih menghargai aku ketimbang anak dan menantunya.

"Makasih ya, Ma." Tanpa terasa air mataku menetes.

"Lho, lho, lho. Ada apa ini? Kok malah nangis?"

"Mama baik sekali, memberikan semua ini sama Delima. Menganggap Delima seperti keluarga sendiri."

"Ngomong opo to, Nduk. Kamu ini ya memang keluarga. Istrinya Raka ya, anak Mama Juga. Piye to." Aku semakin sesenggukan mendengarnya.

"Iya, Ma. Sekali lagi terima kasih."

"Sudah, sudah. Jangan nangis. Ini ada satu lagi yang Mama mau kasi sama kamu. Hadiah pernikahan yang belum sempat Mama kasi." Aku menerima kotak kecil berwarna biru dongker yang diulurkannya.

Aku langsung membuka dan terkejut dengan isinya. Sebuah kalung berwarna putih dan bermata batu. Apa ini yang dinamakan berlian? Seumur hidup, baru kali ini aku melihat dan menyentuhnya secara langsung.

Bagaimana aku bisa berhenti menangis, sedang apa yang kudapatkan seperti mimpi saja rasanya.

"Sini, biar Mama pakaikan. Masa iya, Raka ndak ada beliin kalung dan juga perhiasan buat istrinya."

"Nggak papa kok, Ma. Delima memang nggak pernah minta dibelikan apa-apa."

"Kamu juga harus cepat-cepat hamil, Delima. Biar tahun depan cucu Mama bertambah dua." Mama tersenyum bahagia.

"Oh, maksudnya anaknya Lara ya, Ma?"

"Eh, bukan. Kalau Lara dua bulan lagi juga sudah melahirkan. Kalau tahun depan, ya anak kamu sama Silvi."

Aku terkejut mendengar ucapan Mama. Jadi Mbak Silvi sudah memberitahukan tentang kehamilannya? Ya, tentu saja. Mana mungkin dia mau berlama-lama menyimpan kabar bahagia ini.

Tapi, apa dia juga menyampaikan tentang rencana perceraian itu?

"Kenapa, Delima? Kok kamu kelihatan kaget begitu. Apa jangan-jangan mereka belum memberi tahu kamu soal ini?"

Benar. Memang aku tak diberitahu. Tapi aku sudah mendengarnya secara langsung. Dan anehnya, Mama tetap memperlakukan aku dengan baik. Apa jadinya jika dia tahu bahwa Mbak Silvi dan Mas Raka berniat menceraikan aku.

"Mungkin Mbak Silvi lupa, Ma."

"Oh, ya sudah. Sekalian saja kalian ganti baju, ya. Sebentar lagi acara akan segera di mulai."

"Iya, Ma." Aku kembali menyeka air mata.
.

Setelah keluar dari kamar Mama, tiba-tiba Mbak Silvi menarik tangan dan menyeretku menaiki tangga menuju lantai dua. Sampai di sana dia menyeretku masuk ke sebuah kamar dan mengunci pintu.

"Mbak Silvi? Ada apa, Mbak?" tanyaku heran dengan sikapnya yang seperti sedang tak bahagia.

"Delima. Kamu ngapain lama banget di kamar Mama?"

******

Ketika Istri Tua Suamiku Hamil(selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang