#Drakgrey 01

223 17 1
                                    

Sebelum aku memasuki masa SMA, orang-orang di sekitarku selalu berkata bahwa masa-masa SMA adalah masa yang menyenangkan dan bisa merajut kenangan sebanyak-banyaknya hingga waktu kita tua nanti kita bisa terus mengingatnya.

Iya, banyak sekali orang bilang bahwa masa SMA itu tidak akan pernah terlupakan.

Tapi bagiku orang yang berkata begitu adalah orang yang masa SMAnya penuh dengan hal-hal yang menyenangkan. Seperti bisa berkencan dengan gebetan, selalu menyabet peringat paralel setiap semesternya, atau menjadi sosok yang sangat terkenal di lingkungan sekolah, anak-anak sekarang menyebutnya most wanted.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang masa SMAnya penuh dengan warna abu-abu? Mereka yang mengalami perundungan, mereka yang dituntut untuk jadi yang terbaik oleh orang tuanya, atau mereka yang mengalami diskriminasi dari teman ataupun guru.

Haruskah mereka yang mengalami semua itu terus mengenang masa-masa SMAnya? Bukankah akan lebih baik mereka melupakan karena dengan begitu rasa sakit yang mereka emban semasa SMA perlahan-lahan pudar atau malah tersembuhkan.

Selama hampir dua tahun aku menginjakkan kaki di SMA aku masih belum merasakan sesuatu yang 'wah'. Hari-hariku malah terkesan monoton. Aku hanya pergi ke sekolah, belajar ketika bel mulai terdengar, mengerjakan tugas yang di berikan, makan ketika istirahat, begitu terus setiap hari.

Tapi aku tidak pernah bosan menjalani hariku yang monoton yang itu sebab ada sosok bernama Satria Alkevin yang selalu bisa kupandang sewaktu di sekolah. Dia bukan sosok yang terkenal dan memiliki banyak penggemar. Dia hanya lelaki biasa yang memiliki kelebihan pada otaknya. Dia sangat pintar sekali matematika.

"Alea, tugas matematika kamu udah?" Aku menoleh pada asal suara kemudian menggeleng. "Belum, kenapa?"

"Kalau kamu sudah aku ingin meminjamnya," jawab Lula, teman sebangkuku. Kalau kalian berpikir aku dan Lula lebih dari teman sebangku kalian salah besar sebab hubunganku dan Lula tidak sedekat itu. Kami hanya teman sebangku.

"Mau meminjamnya atau menconteknya?" tanyaku dalam hati.

Lula kembali berbicara, "Tumben sekali kamu belum mengerjakan biasanya kan kamu selalu selesai duluan. Ya, meskipun hasil jawaban kamu tidak selalu benar sih."

Rasanya ingin sekali aku tertawa di depan wajah Lula sambil berkata, "Dasar manusia tidak tahu diri!" Sayangnya aku tidak seberani itu untuk benar-benar melakukannya.

"Cepat kamu selesaikan, ya! Nanti kalau udah kasih pinjam ke aku! Kamu kan pintar." Lula terkekeh lalu beranjak dari bangkunya untuk pergi ke segerombolan siswi-siswi yang baru saja masuk kelas.

Sungguh, Aku sangat benci dengan kata-kata 'kamu kan pintar' sebab aku tahu itu sebenarnya bukanlah sebuah pujian yang tulus melainkan sebuah beban. Kenapa beban? Karena menurut warga kelas ini orang pintar bisa melakukan segalanya!

Padahal aku yakin semua orang itu pintar hanya saja di bidang tertentu. Dan semua orang itu tidak bisa disamaratakan.

Aku sendiri juga tidak merasa pintar-pintar amat sebab aku sangat lemah sekali dalam hitungan, dan sialnya aku masuk jurusan MIPA! Dan aku menyadari kalau aku sudah salah jurusan.

Aku menghela napas lalu menoleh ke samping di mana aku bisa memandang Satriga yang duduk di dekat jendela. Di sana aku melihat Satriga sedang serius mengerjakan sesuatu di bukunya. Kerut yang terlihat jelas di dahi Satriga membuat Satriga lebih menawan. Aku tersenyum dan berandai-andai bisa mendekati Satriga dan tidak lagi menjadi sosok yang diam-diam memperhatikannya. Sayangnya, nyaliku tidak sebesar itu untuk bisa mendekati Satriga lebih dulu. Dan itulah penyesalan terbesarku.

Drak Grey (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang