#DrakGrey06

29 3 0
                                        

Terik matahari begitu menyengat mengenai kulit. Angin yang berhembus sedikit membuat rasa panas menjadi sedikit sejuk. Di bawah matahari yang lagi terik-teriknya kelasku sedang melakukan praktek olahraga.

Anak-anak cowok sedang melaksanakan praktek sedang anak cewek sudah melakukan praktek lebih dulu dengan hobohnya. Guru olahraga sengaja menyuruh anak cewek untuk praktek lebih dulu karena memang anak cewek paling ribet.

Selesai praktek aku duduk di bawah pohon Krisan yang ada di pinggir lapangan seorang diri. Anak-anak cewek lainnya ada yang sedang mengerombol sembari menggosip ada pula yang sudah pergi dari lapangan lebih dulu untuk membeli minum.

Aku melihat anak-anak cowok yang lagi praktek. Sebelum Satriga pergi biasanya cowok itu akan mengajukan diri praktek lebih dulu dan setelah selesai akan menemaniku meneduh di bawah pohon Krisan sembari mengobrol.

Aku masih mengingat momen terakhir aku dan Satriga waktu mengobrol di bawah pohon Krisan sesuai praktek. Kami membicarakan masa SMA kami dan hal-hal yang ingin kami capai.

"Melihat kamu yang sering dicari anak-anak kelas kalau butuh contekan apakah menurutmu itu hal yang menyenangkan? Atau kamu malah merasa pintar? Dan apa dengan begitu masa-masa SMAmu apa sudah menjadi menyenangkan?"

Awalnya aku cukup kaget mendengar pertanyaan Satriga waktu itu. Aku tidak tersinggung sama sekali malah aku merasa sebaliknya, aku merasa dimengerti.

Aku menjawab, "Itu bukan hal yang menyenangkan sama sekali. Aku belum merasa pintar sebab masih banyak hal yang aku pelajari. Menurutku ya, Sat, pintar itu bukan hanya sekedar kamu bisa menjawab pertanyaan guru dengan benar atau mendapatkan nilai yang bagus-bagus. Menurutku pintar lebih dari itu. Dan lagi! Pintarnya orang itu beda-beda. Aku malah merasa sedih ketika jawabanku dicontek dan aku tidak bisa melarang mereka melakukan itu. Gimana, ya? Dengan mereka mencontek jawabanku aku merasa sudah berhasil membuat orang bodoh karena membiarkan mereka tidak berusaha sama sekali. Berbeda lagi jika mereka bilang ingin aku ajari maka aku akan berusaha mengajari mereka sebisaku. Dengan begitu setidaknya mereka menunjukkan bahwa mereka ingin bisa. Yah, masa SMA semakin abu-abu karena hal itu. Karena aku tidak bisa melarang mereka mencontekku. Tapi kamu memberi setitik putih di warna abu-abu itu."

"Ada satu kuncinya, Le?"

"Apa?"

"Jangan jadi orang yang nggak enakkan. Kamu boleh menegur mereka jika menurutmu itu bukan hal yang benar. Jangan takut sendirian sebab kita pun akan berakhir sendirian."

"Itu nggak mudah, Sat."

"Siapa yang bilang mudah, Ale! Tapi kamu akan bisa jika kamu mengusahakannya. Yah, meskipun usaha juga pasti ada gagalnya. Namun, tidak masalah dengan mencoba."

"Kamu akan membantuku, Sat?" Aku menoleh ke Satriga dengan wajah yang pastinya terlihat penuh harapan.

"Kamu mau terus bergantung denganku, Le? Bisa saja aku membantumu tapi aku tidak ingin kamu bergantung padaku. Aku ingin kamu menangganinya sendiri, Dengan diri kamu sendiri."

Yah, yang dikatakan Satriga memang sangat benar. Andai aku sangat bergantung dengan Satriga pasti sekarang aku tidak lagi memiliki sandaran atau malah aku tidak bisa menopang diriku sendiri. Sekarang saja aku masih merasa hampa tanpa kehadiran Satriga.

"Kamu bilang aku memberi setitik putih di warna abu-abu? Nanti kamu pasti menemukan warna lainnya selain itu. Pasti. Mungkin tidak waktu kamu di SMA bisa saja saat kamu kuliah atau bekerja. Atau kamu bisa menciptakan warna kamu sendiri. Pelangi saja memiliki tujuh warna masa kamu punya satu warna, abu-abu."

Aku terkekeh. "Baiklah nanti aku akan mencoba menemukan warnaku sendiri. Selain abu-abu."

"Memangnya warna abu-abu seperti apa yang kamu memiliki sebelum aku memberikan setitik putih itu?"

"Drak grey."

"Abu-abu tua?"

"Iya."

"Emm sekarang jangan berpatok sama abu-abu. Entah itu abu-abu tua atau muda. Masih ada warna lainnya. Kamu bisa mencoba merah muda. Warna cinta." Usai mengatakan itu Satriga tertawa sembari memukul bahuku.

Satriga menginginkan aku mencoba warna merah muda namun aku kembali terjebak dalam warna abu-abu tua setelah cowok itu tiada.

***

"Apa yang kamu inginkan?" tanyaku saat bertelepon dengan Satriga sewaktu aku tidak bisa tidur padahal sudah tengah malam.

"Membanggakan orang tuaku tentunya."

Suara Satriga terdengar serak. Pasti dia kebangun karena aku telpon. Aku jadi merasa bersalah.

"Cuman itu?"

"Iya, itu lebih dari cukup. Karena aku menyanggi Bapak dan Bunda. Kamu menginginkan apa, Le?"

"Tidak tahu. Kadang aku merasa ingin menjadi orang kaya, orang sukses, dan punya nama."

"Menjadi versi terbaik dari diri kamu sendiri saja itu sudah keinginan luar biasa. Nggak perlu muluk-muluk jadi orang kaya sebab belum tentu bisa bahagia. Uang bisa membeli segalanya tapi kebahagiaan tidak. Walaupun tanpa uang kita juga akan sengsara. Jadi orang sukses juga oke. Punya nama juga oke."

"Oh ya, Le. Nggak tahu kenapa aku pingin bilang ini. Kadang kita harus berkata cukup dan jangan terlalu sering berkata cuman itu."

"Kamu sudah merasa cukup?"

"Sudah. Aku punya orang tua yang hebat, ada Kasih yang jadi kekasihku, dan ada kamu yang jadi temanku."

"Bagaimana dengan membanggakan kedua orang tuamu?"

"Orang tua memang akan bangga dengan apa yang dicapai anaknya. Dan aku belum mencapai apa-apa. Namun kata Bapak orang tua kadang sudah merasa bangga dengan melihat anaknya bersikap santun kepada orang tuanya dan orang-orang sekitarnya. Orang tua akan bangga ketika didikan mereka diterapkan anaknya. Mereka akan merasa sudah berhasil mendidik anaknya dengan baik. Aku berusaha melakukan apa yang sudah orang tua ajarkan padaku, Le. Aku tidak tahu apa mereka sudah bangga atau belum. Kembali lagi aku sudah berusaha."

Dan kenyataannya orang tua Satriga memang sudah bangga kepada Satriga. Cowok itu tidak pernah melupakan nasehat Bapaknya atau sesuatu yang disukai Bundanya. Jadi ketika Satriga pergi tangis memilukan Bunda Satriga menggores hatiku kala aku mendengarnya. Juga derai air mata Bapak Satriga yang berhasil menyeretku dalam kubangan kesedihan yang begitu mendalam.

Aku hanya datang ke rumah Satriga ketika Satriga meninggal. Tapi aku tidak pernah berani mengantarkan Satriga ke liang lahat.

Setelah Satriga pergi tidak ada lagi yang aku telpon setiap aku terbangun di tengah malam. Tidak ada lagi yang aku ajak berbincang di tengah malam hingga kantuk kembali menjemput.

Kini di tengah malam yang aku rasakan hanya kesendirian, kehampaan, juga tangisan yang tidak berhasil aku tahan.

Aku masih mencoba mengikhlaskan seperti apa yang Kasih lakukan. Tapi kenyataannya itu tidaklah mudah. Namun, seperti yang sering Satriga katakan bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba.

Maka aku akan mencoba mengikhlaskannya.

Bersambung...

Drak Grey (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang