Pertama; Abang, Papa Pulang

5 2 1
                                    

Remaja laki-laki bernama Sabian atau akrab dipanggil Iyan oleh temannya yang memiliki rambut hitam, alis tebal, hidung mancung dan bibir tebal itu kini sedang berada di ruangan milik Arya bersama ketiga temannya yang tengah bermain game. Semuanya fokus bermain sampai atensi mereka teralihkan tatkala ada pesan dan telepon yang masuk di ponsel milik Sabian berturut-turut.

Tertera nama Sabira di ponsel Sabian. Sabira adalah nama Adiknya, Sabira juga putri bungsu dari keluarga Pahlevi. Lantas, Sabian menatap kepada ketiga temannya, "Bro, Adek gue nelfon. Gue angkat dulu, ya?" tanyanya-- dikarenakan game yang sedang dimainkan Sabian dengan ketiga temannya masih berlangsung.

Salah satu teman Sabian yang bernama Aidan menengok pada Sabian, kemudian dia terkekeh pelan. Tak lupa tangannya yang menepuk bahu Sabian dengan tangan kirinya. "Angkat aja, Yan. Ngapain izin dulu?" katanya.

Mengapa temannya ini mengizinkannya? karena ketiganya sudah tahu teluk beluk tentang keluarga Pahlevi, sebab mereka berteman sejak pada saat keempatnya memasuki Sekolah Dasar kelas lima. Jadi tidak mungkin kan seorang teman sekaligus sahabat Sabian lebih memilih Sabian melanjutkan permainan daripada sang Adik?

Sabian yang mendapat izin dari Aidanpun bangkit dari duduknya. "Kali aja lo pada protes gue keluar game-nya, soalnya nggak biasanya Adek gue ngespam gini."

"Sana angkat, takut ada apa-apa. Jangan takut kita marah, bro, karena lo afk. Adek lo lebih penting." sahut Arya, sang pemilik rumah. Azka teman yang sedari tadi diam pun menengok dan hanya mengacungkan jempolnya.

Setelah mendengar penuturan kata dari ketiga temannya, ia segera keluar kamar Arya dan menggeser tombol hijau. "Halo, Biy? Kamu kenapa?" Tanyanya dan terbesit nada khawatir.

"Abang, papa pulang." Tiga kata yang membuat Sabian terdiam, ia memencet tombol merah yang ada dilayar dan segera ia kembali menuju kamar Arya. "Bro, gua pamit dulu, ya. Papa gue pulang."

Ketiga temannya menengok dan memandang satu sama lain. "Bi, lo yakin mau pulang pas ada papa lo?" Tanya Azka.

"Yakin, Ka. Gue nggak bisa ngebiarin adek gue di sana. Nanti gue ajak Sabira ke apartemen gue selama papa masih di rumah."

Arya bangkit dari kasurnya dan menghampiri Sabian, ia menepuk bahu Sabian dua kali. "Yaudah, hati-hati, bro! Jangan kelepasan kaya waktu itu."

"Yoi, thanks!" Sabian mengambil jaket berwarna hitam miliknya yang berada dikasur Arya serta kunci motor yang ia taruh pada meja Arya.

Sabian melajukan motornya dengan kecepatan yang tingkat, yang biasanya sampai pada rumah 25 menit namun kali ini hanya butuh 15 menit. Sabian sampai di perkarangan rumahnya. Ia melihat mobil milik papanya, yang berarti sang papa betul-betul pulang. Ia mencabut kunci motornya dan menaruh motornya asal serta memasukkan kunci motor pada saku sebelah kanannya. Sabian bergegas memasuki rumah mewah milih keluarga Pahlevi itu.

Ia melihat Jeff— papanya yang berdiam pada sofa ruang tengah, rahang Jeff terlihat mengeras dan Alis yang sudah terlihat seperti memendam kemarahan.

Jeff yang melihat anak sulungnya yang sudah pulang pun langsung menghampiri anaknya yang menundukkan kepalanya. "Anak macam apa kamu masih di luar rumah saat jam 11 malam?" Tanya Jeff dengan tajam. "Jawab, Sabian, kalo saya nanya!" Lanjut Jeff.

Sabian mengangkat wajahnya, ia berusaha menatap mata Jeff yang terlihat penuh amarah. "Papa juga papa macam apa yang jarang dirumah semenjak hari itu? Papa selalu nyalahin Sabira, bahkan Bira lebih deket sama om Tio ketimbang papanya sendiri. Papa ke mana saat Bian sama Bira butuh papa waktu itu?"

"Jangan kurang ajar! Ajaran siapa kamu menjadi seperti itu, Sabian? Saya nggak pernah ngajarin kamu menjadi anak seperti ini. Atau kamu terbawa-bawa dengan Sabira?" Jawab Jeff dengan penuh penekanan.

Wake Me Up!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang