Hari ini adalah hari pembagian raport anak Sekolah Menengah Akhir pada pukul tujuh pagi di sekolah. Tentu ada siswa yang panik ataupun senang menanti nilai hasil perjuangannya selama satu tahun lebih atau kurang di kelas tujuh, delapan, ataupun sembilan. Baik Sabira sendiripun menanti nilainya.
Sabira tengah bersiap memakai seragam hari Jum'at sekolahnya. Atasan seragam berwarna putih lengan pendek serta terdapat empat kancing kebawah ditengah atasan seragam tersebut dengan rok selutut berwarna biru kotak-kotak. Sekolah yang Sabira tempati membagikan raport tepat hari Jum'at.
Saat Sabira ingin mengambil totebag nya, Sabian mengetuk pintu kamar Sabira. "Tunggu!"
Dengan cepat ia melangkah menuju pintu, ia menemukan Sabian yang berpakaian simple namun terlihat rapih. "Abang ngapain?" tanya Sabira.
Sabian yang mendapat pertanyaan itu pun menatap Sabira bingung, "Ambil raport lo lah, Biya. Ngapain lagi, hari ini kan? Soalnya di grup kelas lo hari ini, kan gue masuk grup itu."
Sabira yang mendapat jawaban dari abangnya langsung memasang wajah sendu. "Abang lagi yang ambil? perasaan dari dulu abang terus. Papa nggak pernah."
"Biya, nggak apa-apa, ya? nanti bisa sama papa kok. Sekarang sama gue lagi, ya?" Jawab Sabian sembari mengusap rambut Sabira. Sabira hanya mengangguk paham, Sabian pun sama sedihnya seperti Sabira.
Saat tengah bersedih, Sabira kembali mengingat sesuatu. Ia mengingat bahwa Sabian juga mungkin mengambil raport dihari yang sama, pikirnya. "Abang nggak ambil raport?"
"Gue nanti jam sembilan, Biy. Beda sekolah kita." Benar, keduanya sudah memasuki sekolah yang berbeda. Karena Sabira bilang, ia bosan bertemu dengan Sabian terus-menerus dari SMP. Bukan bosan dalam artian tidak mau bertemu, namun sang abang benar-benar sangat protektif pada Sabira saat di sekolah.
"Biy, kok makan mie lagi? Kan semalem udah makan?"
"Mau ke mana, Biy? Gue anterin, atau sama temen gue deh. Ya kali gue ngebiarin lo sendirian, lo kan masih polos bloon."
"Biy, makan pedes lagi? Tadi istirahat pertama kan udah? Masa istirahat kedua makan lagi? Mana gue denger nambah lagi level cabenya!"
"Biya. Wah, ngapain lo sama cowo depan toilet?"
"Dih, baru bocil udah dapet coklat aja."
"Mau ke mana, Biy?"
Seperti itu kira-kira, apa saja akan Sabian tanyakan pada Sabira pada masa Sekolah Menengah Pertama.
"Tapi Biya mau telepon papa dulu deh! mau coba siapa tau papa mau anterin Biya. Kan Biya belum coba tanya ke papa." Sabira berancang-acang untuk mengeluarkan ponselnya dari tas, namun ditahan oleh Sabian.
"Biya, serius jangan." Cegah Sabian sembari memegang tangan Sabira.
"Kenapa, bang? Biya mau nanya aja, siapa tau papa mau."
"Sabira." Sabira yang mendengar namanya disebut dengan penekanan langsung melepas paksa tangannya yang digenggam Sabian.
"Apa sih, bang? Nggak usah nahan Biya, Biya cuma mau telfon Papa aja."
"Sabira, kali ini denger gue."
"Abang. Sekarang gini, abang nggak ngerasain apa yang Sabira rasain. Nggak pernah diambilin raport sama orang tuanya. Abang malah nggak pernah sekalipun raport nya nggak diambilin sama papa."
"Terserah lo, Bira. Apapun yang papa bilang itu urusan lo." Setelahnya, Sabian langsung melangkah pergi dari depan kamar Sabira menuju kamarnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up!
Genç Kurgu"Kalian semestanya Sabira, tapi kalo semestanya Sabira hancur gimana bisa Bira bertahan?" Sabira Abdias Pahlevi yang terasa hampa, rapuh dan hancur ketika mengingat keluarganya tak sehangat dulu. Keluarga Pahlevi, keluarga yang dulunya dilanda kebah...