Oh gini rasanya kerja.
Itu yang ada dipikiran gua ketika gua dapet kerja magang di salah satu perusahaan di Jakarta Utara di tempat temen bokap gua. Berangkat subuh, pulang sore jam 5 atau 6 setiap hari. Desek-desekan di kereta, jalan dari stasiun ke tempat kerja, mungkin karena gua waktu itu anak baru, bodohnya, gua seneng. Feel like this is a normal life. Semuanya normal pada 2 minggu pertama, and in the next two weeks, it's hell.
Merasa ga dihargai, disuruh lembur tiap hari, belum dimarahin dan disalahin karena "ga tau apa-apa", ya begitulah. Sakit juga ya.
Dari yang udah biasa cape fisik, jadi kerasa cape fisik plus cape batin dan pikiran.
This is not a job, nor a work. This is a modern day slavery.
Sampai akhirnya gua sampai di titik di mana gua udah nyerah, bener-bener nyerah dan ga bisa gua paksa tahan-tahan lagi. Gua out. Terdengar lemah, tapi ya kita juga harus mengukur sampai dimana batas "toleransi" kita terhadap suatu hal. Kalau kita kerja tapi kita cape fisik apalagi sampe cape batin, itu tandanya udah ga sehat kan ? Lebih baik keluar dan cari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Bahkan sampai saat ini pun, ada banyak perusahaan yang memperlakukan karyawannya seperti budak. Ijazah ditahan, mau resign diancam kena denda bayar, mau lapor pihak berwenang pun ga bisa karena takut dituntut balik. Sedih ya, kita cuma pengen kerja, pengen berkarir di perusahaan sampai di posisi tinggi, tetapi kenyataannya ga gampang. Mungkin bagi mereka yang punya privilage orang tua kaya atau orang tua yang punya posisi penting ga akan relate karena mudah sekali untuk masuk kerja dan cepat naik jabatan.
But, that's not happened to me.
Gua bukan dari keluarga konglomerat, orang tua gua bukan orang yang punya posisi penting di suatu perusahaan ataupun pemegang saham pengendali di salah satu perusahaan terbuka. Gua hanya orang biasa dari keluarga biasa yang cuma pengen dapat kesempatan yang sama untuk ngejar karir sampai posisi Direksi di salah satu perusahaan di ibu kota. Gua ga punya orang dalem, ga ada orang tua atau saudara-saudara yang bisa bantu gua untuk masuk dengan mudah. Gua hanya orang biasa yang punya mimpi besar, menjadi orang besar dengan kemampuan gua sendiri tanpa orang dalam atau tanpa orang tua yang tajir. Apa salah gua punya mimpi seperti itu ?
Di peron stasiun kereta yang cukup ramai, sembari melihat ke arah rel di sebelah utara, gua menangis dalam hati. Dari yang awalnya gua mikir ketika gua lulus bakal cepet dapet kerja yang "enak", sekarang, pikiran itu ilang. Digantikan oleh sejuta bayangan negatif yang penuh dengan kegagalan dalam hidup, cita-cita yang tak sampai dan munculnya rasa kecewa di hati orang-orang yang menaruh harapan besar di idup gua.
Di hari terakhir gua kerja, gua pulang dengan perasaan yang campur aduk. Seneng bisa terbebas dari hal-hal gila di kantor, cemas karena gua ga tau bakal ngelamar kerja di mana lagi, sedih karena orang tua berharap sama gua, tapi yah, persetan lah. Lebih baik kembali cari kerja yang lebih normal dibanding jadi budak. Dan dari sekian perasaan gua waktu itu, keinginan gua untuk mendapatkan hal yang lebih baik semakin meluap.
Let's get started again, shall we ?

KAMU SEDANG MEMBACA
In a Box of Mine
NonfiksiKata orang bijak, pengalaman adalah guru terbaik. Dan gua mencoba menuliskan pengalaman-pengalaman gua dan pembelajaran dari setiap kejadian yang gua alamin biar kita sama-sama belajar, gimana caranya jadi versi terbaik diri kita. Manusia adalah mak...