Four : Merindu

146 21 1
                                    


"Aku merindukanmu Irene ..."

Sosok itu, Guru Lee. Seperti inilah setiap malam bulan purnama, dimana sinar bulannya membuat sesosok guru Lee berbisik pada angin malam, berbagi rindu dengan alam untuk sang istri yang pergi mendahuluinya.

"Lihatlah dua bayi mungil yang dulu hanya bisa menangis, namun kini mereka sudah bisa melakukan apapun yang ku perintahkan." Menundukkan kepalanya, guru Lee kembali mengingat segala kenangan akan kebersamaan mereka dulu. Mereka yang hanya manusia biasa dan tidak sempurna, lalu tanpa sengaja bertemu dan akhirnya bersatu guna menyempurnakan satu sama lain.

"Ayah? kenapa ayah belum tidur?" guru Lee lantas segera menghapus lelehan air mata yang mengalir ringan sebelumnya, lalu membalikkan badan kala mendengar suara sang putra.

Renjun, pemuda itu baru saja ingin pergi ke dapur untuk minum tadinya. Namun saat dirinya akan berbelok ke dapur, matanya menangkap sosok ayahnya sedang menundukkan kepalanya. Bertanya-tanya dalam hati, alasan ayahnya belum tidur tengah malam seperti ini. Apa ayahnya sedang memikirkan sesuatu?

"Renjun? ada apa nak? ayah sedang menikmati angin malam disini."

"Ayah tidak sedang memikirkan sesuatu, kan?" guru Lee yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa terkekeh pelan dan segera menghampiri putranya, menariknya untuk duduk disampingnya.

Setelah keduanya duduk, keduanya tidak langsung berbincang namun justru saling diam tanpa ada yang ingin membuka suara terlebih dahulu. Netra keduanya sama-sama saling menatap satu sama lain, sebelum kekehan ringan guru Lee kembali terdengar.

Mengalihkan pandangannya, guru Lee kini menghadap kedepan, mendongakkan kepalanya keatas guna memandangi cahaya indah sang bulan. Menarik nafas dalam-dalam, sebelum menggumamkan sebuah kalimat yang selanjutnya dihadiahi tatapan sendu dari sang putra.

"Ayah sedang merindukan semesta ayah, kau tahu?" Renjun tak langsung menjawabnya, dia hanya memandang sendu kearah ayahnya yang sedang memejamkan mata.

"Manusia ini sedang merasakan rindu teramat dalam pada cintanya," gumam guru Lee. Namun sepertinya masih terdengar jelas oleh Renjun.

Apa yang bisa Renjun lakukan? lagi-lagi hanya tatapan sendu yang bisa ia berikan pada ayahnya. Rindu? tentunya ia juga rindu. Sangat, terutama pada sang ibu yang sama sekali belum pernah ia lihat rupanya.

Kadang kala, dirinya diselimuti rasa bersalah karena telah lahir didunia. Karenanya, sang ibu meregang nyawa kala berjuang melahirkannya dan sang adik. Mengingatnya, membuat air matanya mengalir begitu saja saat ini. Dalam kesunyian malam, ia merengkuh hangat tubuh ayahnya dan menangis tanpa suara didekapan sang ayah.

"Jangan menyalahkan dirimu lagi nak, ini semua sudah takdir. Paham? tolong jangan seperti ini atau ibumu diatas akan ikut sedih melihatmu yang tengah menangis saat ini." Renjun menggelengkan kepalanya dalam dekapan sang ayah, dan guru Lee hanya bisa memberikan usapan lembut dipunggung sang putra.

Keduanya saling diam, masih saling berbagi kehangatan lewat sebuah pelukan. Setelah dirasa sang anak cukup tenang, guru Lee melepaskan dekapannya dan menangkup pipi putranya yang masih basah oleh air mata.

"Jangan menangis lagi, Renjun. Kau kelihatan sedikit buruk jika menangis seperti tadi." Renjun seolah tak mendengar ucapan ayahnya, dan justru kembali menitikkan air matanya. Berbeda, kini sebuah isakan terdengar dari mulutnya. Sontak guru Lee terkejut dan kembali mendekap erat tubuh putranya.

Sebelum guru Lee sempat mengucapkan kata penenang, sebuah suara serak seperti orang bangun tidur terdengar dari belakangnya.

"Ayah? Kak Renjun?" guru Lee memejamkan matanya, karena setelah ini ia tahu apa yang akan dilontarkan oleh mulut anaknya yang satu itu.

"SIAPA YANG MEMBUAT KAKAKKU MENANGIS?"

Guru Lee sepertinya harus memberi sebuah hadiah nantinya. Tentu untuk mulut sang putra, Jaemin.

To be continue

Always love you {Markren}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang