Ten : Ragu

161 11 10
                                    


Hari berganti hari, bulan berganti bulan, bahkan tahun juga sudah mulai berganti. Hari ini, tepat satu tahun ketiga pangeran muda itu pergi jauh dari istana, jauh dari kemegahan dan kemewahan, dan hanya bernaung dalam kesederhanaan.

Terasa sangat cepat, dan mengalir begitu saja tanpa ada sesuatu yang bisa dijadikan untuk buah tangan bila mereka kembali nanti. Atau mungkin ... ada?

"Apa rasanya jatuh cinta seperti ini, dewa? tapi ... kenapa harus dirinya?" gumam seseorang lirih. pandangnya ia tujukan pada patung Dewa Krishna didepannya. Tangannya mengatup erat, saat satu tetes air lolos dari matanya.

"A-apa yang harus aku lakukan, dewa? aku telah termakan kata-kataku sendiri ...."

Malam itu, lonceng kuil yang berbunyi karena tiupan angin menjadi saksi bisu, bagaimana lemahnya seorang hamba saat sedang mengadu pada Tuhannya.

Semuanya. Termasuk ... seorang pangeran sekalipun.

"Maafkan aku, wahai dewa ... aku sudah terlanjur mencintainya." Setelah mengucapkan itu, seseorang yang mulanya duduk bersimpuh dibawah kaki patung dewa itu pun berdiri, lantas berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kuil itu.

Seseorang itu berjalan pelan, sembari menikmati langit malam yang begitu indah menurutnya. Senyum kecil terpatri di bibirnya, saat matanya melihat seekor kunang-kunang terbang melintas didepannya.

"Dia benar-benar bersinar," ujar seseorang itu pada kunang-kunang yang mulai terbang jauh.

Saat langkahnya melewati aula, dirinya melihat sesosok laki-laki yang sedang duduk termenung ditepi kolam.

Sepertinya, dia mengenali sosok itu.

Setelah memastikan bahwa yang ia lihat benar adanya, dirinya langsung berjalan cepat dengan senyum lebar terukir di bibirnya.

"Apa yang kau lakukan, Renjun?" tanya seseorang itu setengah berbisik.

Laki-laki yang awalnya sedang sibuk memandangi bayangan bulan ditepi kolam itu pun tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangannya pada seseorang yang menjadi pelaku atas keterkejutannya.

"Pangeran Minhyung? sedang apa dirimu disini?" Renjun bertanya tidak sabaran, setelah seseorang didepannya kini ikut mendudukkan diri disampingnya.

"Aku yang seharusnya bertanya padamu. Apa yang dilakukan laki-laki manis sepertimu malam-malam di sini?" tanya pangeran Minhyung dengan pelan. Tangannya bergerak meraih tangan Renjun yang jauh lebih kecil, lalu menggenggamnya erat seolah takut kehilangan.

Renjun yang diperlakukan seperti itu pun tidak keberatan, dan kini malah menyenderkan kepalanya pada pundak pangeran muda disampingnya.

Keduanya sama-sama sibuk memandangi ketenangan kolam yang dihiasi ribuan bayangan bintang dipermukaan airnya.

Renjun terdiam, seperti sedang merangkai kata-kata yang akan ia sampaikan pada sosok disampingnya tersebut.

Hingga setelahnya, ia mengangkat kepalanya, dan berdiri secara tiba-tiba, membuat pangeran Minhyung menatap heran padanya.

Lalu ia berkata, "Tidak terasa, bukan? tepat satu tahun dirimu datang ke sini, dan belajar banyak hal dari ayahku bersama kedua adikmu. Pangeran ... waktu berjalan dengan cepat, ya? terkadang, aku bertanya-tanya. Bagaimana kita bisa sedekat ini? sejak kapan?"

Pangeran Minhyung yang semulanya heran, kini tersenyum lebar dan ikut berdiri, lantas kembali menggenggam tangan mungil Renjun.

"Tatap aku, Renjun."

Seolah terhipnotis, Renjun memalingkan wajahnya, dan dirinya langsung berhadapan dengan rupa sang pangeran.

Pangeran Minhyung tersenyum kecil, saat laki-laki didepannya itu tidak bereaksi apa-apa, seolah benar-benar terhipnotis oleh setiap kata yang diucapkan olehnya.

"Dengarkan aku. Ini semua, berjalan sesuai dengan aturan yang Tuhan cipta untuk kita. Bagaimana kita bisa dekat? itu pun sudah Tuhan rencanakan sebagaimana semestinya. Kita makhluk-Nya, hanya bisa menerima itu semua. Kau mengerti, hm?" pangeran Minhyung mencubit pelan hidung bangir Renjun, dan hanya dibalas kedipan mata tidak mengerti dari empunya.

Terkekeh pelan melihat respon laki-laki manis didepannya, pangeran Minhyung segera mengecup pelan kening laki-laki itu. Tentunya, yang dikecup tiba-tiba seperti itu pun mengerjapkan cepat matanya, lalu memalingkan wajah; malu. Pipinya memanas, dan semakin memanas saat mendengar apa yang diucapkan oleh pangeran Minhyung.

"Kembalilah, Renjun ... jangan sampai kau kesiangan untuk pemujaan besok."

To be continue

Alur untuk saat ini dipercepat, namun kedepannya setelah sampai di bagian penting, kilasan masa lampau akan muncul.

Bisa dibilang, alur di cerita ini maju mundur.

Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini, dan terima kasih atas segala dukungan yang kalian berikan lewat sebuah vote.

Tidak terlalu penting bagi saya, namun saya amat berterima kasih untuk itu.

Selamat malam, dan salam sejahtera!!!

Always love you {Markren}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang