Seven : Norma

115 14 3
                                    


Angin berhembus pelan, dan dedaunan bergoyang mengikuti setiap hembusannya. Awan di langit menyatu, membentuk gumpalan putih yang menghalang sang Surya untuk memancarkan cahayanya.

Semua orang mengatupkan kedua tangannya didepan dada, memohon berkat seiring diucapkannya do'a oleh sang pendeta. Suasana yang tenang, membuat pemujaan yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari itu terasa sangat damai.

Tak berselang lama, segala ritual pemujaan pun selesai. Dan tibalah saat yang dinanti-nantikan, yaitu pembagian manisan.

Kali ini, tiga pangeran muda itu tak berbaris bersama, karena yang lebih tua; pangeran Minhyung terpaksa berbaris dibarisan kedua karena ditarik oleh pangeran lain dari kerajaan tetangga, yang belum lama ini menjadi temannya.

Sebuah keberuntungan, karena hari ini yang membagikan manisan adalah kedua putra guru Lee. Semua pangeran langsung berdiri tegak menanti giliran, disaat piring besar itu berhenti tepat dihadapan. Tak terkecuali, pangeran Minhyung.

Matanya memandang sosok putra sulung guru Lee, dengan jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Dirinya pun terkejut kala menyadari ritme tak beraturan dari dadanya, dan berusaha untuk tetap tenang. Namun ternyata, gelagat anehnya itu diamati dengan baik oleh teman barunya.

"Apa yang terjadi denganmu, Minhyung?" bisik pangeran itu, yang bernama Yeonjun.

Pangeran Minhyung hanya menggeleng pelan sebagai respon, lalu menundukkan kepalanya. Cukup lama, hingga seseorang menegurnya. Dan saat itu pula nafasnya tercekat, saat melihat siapa sosok didepannya.

"Apa kau tak ingin manisan?" tanya sosok itu.

Pangeran Minhyung sontak terkejut, dan gerakannya sangat kikuk saat mengambil manisan yang disodorkan.

"T-terima kasih ...." ucap Pangeran Minhyung, lantas kembali menunduk.

Melihat pangeran muda dihadapannya gugup, sosok itu; Renjun, hanya tersenyum kecil dan menahan tawanya.

Tak ada yang menyadari interaksi kecil diantara keduanya, melainkan sepasang mata yang memang sedari tadi sibuk mengawasi murid-muridnya, dan juga kedua anaknya.

Dia ... guru Lee.

Guru Lee tahu itu. Dan ia memilih diam, memandang lekat keduanya. Ingatannya tiba-tiba membawanya pada masa lalu, dan mengingatkannya pada sosok temannya, sekaligus ....

Cint-

"Ayah? mau manisan?" guru Lee lantas menoleh, dan menemukan putra keduanya yang tersenyum manis sembari mengangkat piring manisan ditangannya.

"Ayah? Jaemin?" Yang dipanggil pun mengalihkan pandangannya. Guru Lee tersenyum, melihat kedua putranya berdiri tepat dihadapannya, dengan tangan yang memegang piring manisan.

"Apa kalian berdua akan menawari ayah manisan?" Renjun dan Jaemin mengangguk seraya tersenyum manis. "Baiklah, suapi ayah kalau begitu."

Keduanya; Renjun dan Jaemin tersenyum lebar, dan segera menyuapi ayahnya dengan manisan secara bergantian. Lalu, bergantian pula guru Lee menyuapi keduanya.

Semua pangeran yang melihat itu tersenyum bersama. Beberapa dari mereka pasti merindukan ayahnya juga, dilihat dari mata mereka yang memerah dan berkaca-kaca.

Namun berbeda dengan salah satu pangeran itu. Disaat tatapannya dan salah satu putra guru Lee bertemu, dirinya langsung tersenyum hingga kedua matanya membentuk dua bulan sabit.

Yang diberi senyuman hanya bisa tersipu dan menunduk malu, dan itu tak lepas dari pandangan guru Lee; ayahnya.
_____

"Hyung, kau tahu?"

"Tidak."

"Ish!"

Yang lebih tua tertawa pelan kala sosok pemuda dihadapannya pura-pura merajuk. Seorang pangeran merajuk? haha!

"Aku ingin berterima kasih padamu, hyung."

"Untuk apa?"

"Terima kasih karena telah membuatku bahagia dan merasa lebih hidup. Aku sangat bahagia!"

"Sama-sama gendut ...."

"Aku tidak gendut, hyung! ish!"

"Jangan merajuk seperti anak kecil, gendut ...."

"Hyung!"

"Hahaha!!!"

"...."

Hening. Tak ada yang ingin memulai obrolan lagi.

Hingga ....

"Hyung, aku menyukaimu ...."

Pemuda yang lebih muda dua tahun darinya itu menundukkan kepalanya, dan bisa ia lihat kedua telinga pemuda itu memerah.

Bukan, bukan itu masalahnya.

"A-apa yang kau katakan?"

"Maaf hyung ... ini salahku," lirih pemuda itu.

Helaan nafas terdengar dari sosok yang lebih tua. Kepalanya mendongak, mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai menggelap.

"Tidak. Ini bukan salahmu, karena aku ... juga menyukaimu, pangeran ...."

"H-hyung ...."

"Pangeran ... maafkan aku ...."

"Tidak! jangan meminta maaf Seperti ini hyung ...."

Yang lebih tua mulai terisak pelan, dan pemuda yang ia panggil pangeran itupun tak tinggal diam, dan dengan segera membawa yang lebih tua kedalam dekapannya.

Langit yang mulai menggelap ternyata tak selalu mendatangkan malam, melainkan juga mampu memberikan kepedihan seiring hujan.

Seperti derasnya hujan yang turun sore itu, begitulah juga deras darah yang mengalir keesokannya.

Nyatanya, hukuman tetap ada ... dan cinta tak akan pernah bisa menghentikannya.

To be continue

Always love you {Markren}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang