"Bu, ini beneran Ibu ninggalin Kinan sendirian?"
Suara gemericik rintikkan air hujan menemani isak tangis seorang gadis bermata sembap akibat dari aksinya bersedekah air mata sejak empat jam lalu.
Dunianya tiba-tiba menggelap. Mengirimkan sinyal kedukaan pada dirinya yang masih bergumul dengan rasa kehilangan.
"Bu..." panggilnya setengah berbisik diiringi getaran. "Udah capek ya ngurusin Kinan sampe milih buat tidur sendirian gini?" Tanyanya lagi dengan tatapan nanar menuntut jawaban.
Jeda beberapa saat. Membiarkan gemerisik dedaunan yang tertiup angin mengisi keheningan di antara Kinan dan kesedihan miliknya.
"Nanti kalo Kinan kangen pengen peluk Ibu gimana? Kinan harus apa?" katanya dengan suara gemetar.
"Bu, ayo bangun ... Kinan gak mau sendirian. Kinan butuh Ibu ...," kalimat permintaan tak masuk akal itu keluar tanpa dia sadari. Siapapun yang mendengar, mereka akan tahu bahwa suara Kinan adalah suara sarat keputusasaan.
Dalam benaknya dia terus berandai-andai penuh harap.
Berharap gundukkan tanah merah dan tulisan nama Rima Larasati di hadapannya hanyalah mimpi. Berharap tangisan yang sejak tadi dia tahan adalah alasan bahwa semua ini bukanlah kenyataan yang harus dia telan.
Dengan tanpa memperdulikan kondisi tubuh dan bajunya yang sudah kotor di mana-mana, gadis berusia 25 tahun itu masih terus bersimpuh di depan batu nisan ibunya. Dia terus mengusap gundukkan tanah itu berharap mampu menghidupkan raga yang telah terbujur kaku di bawah sana.
"Ibu denger Kinan, kan? Ibu tahu kan sesayang apa Kinan sama Ibu?" Isaknya dengan tanya-tanya penuh keputusasaan.
Walaupun sudah berjam-jam ia lewati, nampaknya gadis itu masih belum bosan melontarkan kalimat-kalimat tanya pada tanah merah di hadapannya.
Isi kepalanya sudah jauh mengembara pada bayangan kehidupannya di masa yang akan datang. Hatinya terus berkedut nyeri ketika menyadari ibunya tidak termasuk dalam kepingan bayangan itu. Yang dia temukan hanya ada dia dan bayangannya sendiri. Juga, sepi yang merajai.
Rasanya begitu menyakitkan.
"Kalau Ibu udah enggak bisa Kinan sentuh, udah enggak bisa Kinan mintain do'a, terus setelah ini Kinan mau minta sama siapa?" Tuturnya dengan suara semakin serak.
Gadis itu terus menangis sembari mengelu-elukan ibunya. Berharap ada satu keajaiban di tengah duka yang sedang dia terima.
"Buuu ... Kinan salah apa? Kenapa Ibu tinggalin Kinan? Kenapa rasanya dunia jahat sama Kinan? Kenapa?!" Kinan terus meraung mempertanyakan ketidakadilan atas takdir yang sedang dia hadapi.
Semakin lama semakin merunduk. Keningnya hampir menyentuh tanah basah yang sejak tadi menontoni kepiluannya. Tidak ada respon sama sekali. Hanya ada irisan bunga yang bergerak akibat dari angin yang menerpa.
"Ki..."
"Kinan capek," jedanya. "Kapan jatah bahagia Kinan datang?" Lirihnya pilu.
Dia masih terus menumpahkan rasa sesak dan sakitnya dengan bersimpuh di atas kuburan ibunya. Semakin lama, suara tangisnya semakin memilukkan. Terdengar napasnya semakin tersengal-sengal akibat dari tangis yang terus meronta agar tetap diproduksi.
"Kinan...," panggilnya lagi, lembut.
"Bu, apa lebih baik Kinan ikut ibu aja, ya? Biar ibu tidurnya enggak sendirian. Biar Kinan bisa terus-terusan sama Ibu.." ujarnya dengan mata sembap menatap batu nisan milik ibunya. Jemarinya terus mengusap-usap nisan itu.
Satu detik kemudian seolah ada yang menekan tombol harapan dalam diri Kinan agar terlepas dari kejamnya takdir yang mengikatnya rapat.
Kemudian Kinan rusuh membuka tasnya nampak mencari suatu benda yang dia maksud. Hingga dia menemukan satu benda yang membuatnya tersenyum sumringah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIBUNGKUS LUKA
RomanceTakdir adalah sebuah terma keramat yang tidak pernah bisa disangkal. Warnanya selalu abu-abu, samar, bahkan tidak bisa sama sekali diterawang. Garisnya tidak pernah bisa ditebak hingga mampu hasilkan prasangka-prasangka yang timbulkan rasa antipati...