PROLOG

24 4 1
                                    

"Ki.. Aku sayang banget sama kamu. Kamu harus percaya kalau perasaan aku masih sama kaya dulu, enggak pernah berkurang sedikit pun," dia memberi jeda. Air mukanya nampak tidak kuasa melanjutkan kalimat yang sedari tadi terus tertahan di kerongkongan. "tapi aku juga gak bisa membantah larangan mama." Laki-laki berlesung pipi itu menatap Kinan sendu. Dia lantas menunduk, tidak berani menatap lebih lama sorot mata terluka dari gadis yang sudah enam tahun ini selalu bersamanya.

Begitulah akhirnya. Konjungsi tapi yang membawa mereka berdua pada ujung titik penutup. Diksi yang kemudian menyudahi carut-marut hubungan yang tidak jelas pijakannya hingga hasilkan kepingan-kepingan hati yang berceceran akibat dari pemutusan ikatan yang sudah lama berjalan.

Lagi-lagi Kinan kalah.

Dia kembali dikalahkan oleh takdir yang sudah terikat paten dengan dirinya. Menambah deretan panjang luka yang terlampau ingin bergaul mesra dengan air mata yang belum lama mengering di pipi.

"Mas Abi, kalo tahu akhirnya akan kaya gini, harusnya sejak saat itu lebih baik kita gak perlu repot-repot berjuang." Pungkas Kinan dengan suara bergetar sarat kedukaan. Setelahnya gadis itu memilih menggeret langkahnya menjauh untuk memutus rantai sakit hati di antara keduanya.

Begitulah takdir kepada Kinan. Selalu memberi kejutan-kejutan yang bahkan tidak pernah dia harapkan. Terus mencekokkinya dengan rasa perih hingga akhirnya dia memilih membenci garis mutlak buatan Tuhan dan menganggapnya sebagai musuh yang tidak layak dia geluti.

Dia pasrah. Dia menyerah pada keadaan. Dia memilih menjadi pengecut yang terombang-ambing oleh ombak di lautan lepas dan berhenti berharap pada apa-apa yang masih bias. Biar saja. Biar garis kematian yang mengakhiri rasa sakitnya di muka bumi.

DIBUNGKUS LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang