We lost the love of our life.
We lost the sun of our day.
We lost the sky of our universe.
We lost our home
and we lost everything
cause we lost our mom.••••
Deru halus mesin mobil yang baru dimatikan terdengar di area carport rumah bergaya Industrial milik seorang pria bermarga Mahardika. Sentuhan warna-warna monokrom dan penggunaan material upcycle dan recycle yang diletakan di beberapa titik memancarkan kesan maskulin dari rumah yang baru dia huni sekitar enam bulan ini.
Walaupun eksistensinya di rumah ini bisa dibilang cukup jarang karena dirinya yang masih harus tetap tinggal di rumah milik orang tuanya tapi sesekali dia selalu mengusahakan untuk bolak-balik ke rumah ini agar tidak terlalu 'dingin' ketika dia perlu waktu untuk sendiri.
"Kamu habis dari mana, Nak?"
Aksa menoleh terkejut pada ibunya yang tengah menyeduh teh hangat di pantry. "Lho? Mama sejak kapan di sini?"
"Baru setengah jam yang lalu," Ibunya menjawab setelah menyeruput teh hangat yang baru saja dia buat. Bola matanya menelisik penampilan sang anak. "Baju kamu kotor kaya gitu abis ngapain? Abis main kotor-kotoran apa gimana?" tanyanya dengan kening berkerut.
Aksa mengikuti arah pandang ibunya. Memindai baju dan celana yang tengah dia pakai.
Pantas saja..
Ternyata bekas tanah merah itu ada dimana-mana. Di bagian lutut, paha, perut, juga pinggangnya. Dia sedikit mengingat kenapa bisa bagian pinggang kemejanya kotor.
Ah, iya. Tadi Kinan sempat mencengkram kuat sisi kemejanya saat perempuan itu dia peluk.
"Heh, kamu ini mama tanya malah ngelamun!" tegur sang ibu pada Aksa yang nampak memikirkan sesuatu.
Laki-laki itu mengerjap. "Eh--iya, tadi abis dari pemakaman ibunya temen Aksa, Ma," jawabnya. "Mama kok tumben ke sini?"
"Mau nginep di sini. Papa kamu lagi ke luar kota sampe tiga hari ke depan," jawab wanita berusia lima puluh tahunan itu seraya berjalan ke arah ruang keluarga.
"Kenapa enggak bilang dulu? Biar Aksa jemput padahal," cetus lelaki berambut hitam itu sembari meletakan bajunya di tempat loundry pakaian. Kini di tubuhnya hanya tersisa kaus putih oblong dan celana kain hitamnya.
"Kasian nanti kamu repot. Soalnya Mama tahu hari ini jadwalnya kamu buat nginep di rumah ini. Udah pasti gak akan dulu ke rumah," jelas ibunya. "Itu kamu emang sampe ikutan nguburin jenazahnya, ya, sampe cemong-cemong gitu pakaian kamu?" Sambungnya lagi menatap Aksa penasaran.
Aksa terkekeh. Dia lupa kalau dirinya punya seorang ibu yang seperti 911. "Enggak, Aksa cuma gak sengaja lihat dia di pemakaman pas tadi mau ke rumahnya gara-gara hari ini gak masuk. Ya udah Aksa ikutin aja," beber laki-laki itu pada sang ibu. "Eh pas Aksa tungguin di sana, dia malah mau bunuh diri."
"Ya ampun, kasihan banget dia, Nak," raut wanita itu tampak menaruh empati. Terlihat dari kerutan di dahi dan juga sorot matanya yang pancarkan kesedihan. "Udah kamu anterin ke rumahnya? Dia punya saudara enggak?"
Aksa mengangguk tanda mengiyakan dua pertanyaan ibunya. "Udah. Dia punya adik laki-laki."
"Temen kamunya perempuan, kan?" Ibunya bertanya meminta jawaban.
Ekspresi Aksa menunjukan kewaspadaan. Dia sudah bisa menerka kalimat apa yang akan terlontar dari mulut ibunya. Walau katanya tidak boleh mudah bersuudzon pada siapapun tapi untuk masalah ini. Kesuudzonan Aksa tidak akan melenceng sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIBUNGKUS LUKA
RomanceTakdir adalah sebuah terma keramat yang tidak pernah bisa disangkal. Warnanya selalu abu-abu, samar, bahkan tidak bisa sama sekali diterawang. Garisnya tidak pernah bisa ditebak hingga mampu hasilkan prasangka-prasangka yang timbulkan rasa antipati...