Part 1

850 55 1
                                    


oo00oo


"Aku nggak mau foto, Angkasa."

Raya berkali-kali membalikkan badan begitu Angkasa mengarahkan kamera ponsel kearahnya. Kakinya lincah melompat dari satu batu ke batu yang lain dengan kedua tangan yang menutupi wajah jika Angkasa memotretnya.

Suara air sungai yang mengalir sedikit deras seperti musik yang menenangkan bagi Raya. Ia mendudukkan diri disebuah batu besar. Angkasa yang berada tak jauh dibelakangnya sedikit merasa was-was, pasalnya Raya seperti tak memiliki rasa takut saat melewati bebatuan sungai yang licin.

"Raya, awas jatuh!" Entah sudah berapa kali Angkasa mengucapkan kalimat tersebut. Sementara Raya sibuk mengarahkan ponselnya kesana-kemari mengambil gambar pemandangan didepannya.

"Angkasa, liat! Bagus kan? Aesthetic banget!" seru Raya menunjukkan layar ponselnya pada Angkasa dibelakang.

"Ini lebih bagus," jawab Angkasa memperlihatkan layar ponselnya. Benda pipih itu memperlihatkan sebuah foto dimana Raya berdiri menghadap kamera dengan satu tangan yang menutupi wajah, dan satu tangan terulur menjaga keseimbangan ketika melompati batu sungai.

"AAAAA HAPUS!"

Angkasa terkekeh melihat Raya yang kembali membalikkan badan seolah marah. Dengan hati-hati, Angkasa melangkah maju untuk menyamakan posisinya dengan Raya.

"Angkasa, ayo foto kaki. Sini, kaki kamu masukin ke dalam air," ajak Raya. Angkasa menurut, memasukkan kedua kakinya ke dalam air yang terasa sedingin es. Dilihatnya Raya yang nampak sibuk mencari angel foto yang sesuai. Disaat beberapa pengunjung sungai memilih berfoto selfie, lain dengan Raya yang justru mengambil foto kaki dan pemandangan.

"Ayo pulang. Udah sore, nanti Bunda khawatir," ajak Angkasa membantu Raya berdiri.

Raya mengangguk, sekali lagi mengarahkan ponselnya ke seberang sungai dimana terdapat rimbun pepohonan. "Besok-besok kesini lagi ya?"

"Iya."

Raya mendahului Angkasa yang masih terdiam berjalan ke tepian sungai.

"Ra, yakin nggak mau fotbar dulu?" tanya Angkasa. Sudah beberapa kali mengunjungi berbagai tempat, namun Raya hanya memilih menikmati pemandangan, sesekali mengambil gambar. Lalu sesampainya dirumah Angkasa disalahkan sebab tak mengambil foto mereka berdua.

"Kan tadi udah foto kaki."

Raya menyenderkan kepalanya di pundak Angkasa selama perjalanan. Sesekali matanya terpejam sebab rasa kantuk yang mulai menguasai dirinya. Angkasa tersenyum tipis melihat Raya dari kaca spion. Tak jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke rumah.

*****

Senja mempersilahkan malam untuk menggantikan hadirnya. Langit yang semula kemerahan perlahan menjadi petang dengan bintang yang menghiasi. Lalu lalang kendaraan masih cukup ramai meski hari menginjak malam. Raya sibuk menggeser layar ponselnya yang menampakkan beberapa foto sungai yang ia ambil tadi. Jarinya berhenti menggeser kala layar benda itu menampakkan foto dua pasang kaki miliknya dan Angkasa. Sedikit mengedit pencahayaan agar sesuai, setelah itu Raya menjadikan foto tersebut sebagai wallpaper layar kunci.

"Lagi ngapain, Ra?"

Raya mengubah posisinya menjadi duduk begitu Dewi memasuki kamarnya. Bukan tiba-tiba, Dewi memang sering mengunjungi Raya di kamar setiap malam untuk mendengarkan cerita anaknya.

"Bun, liat. Tadi Raya ke sungai sama Angkasa," ucap Raya memperlihatkan foto-foto di ponselnya. Dewi ikut mendekatkan badannya, melihat satu persatu gambar yang ditunjukkan oleh Raya.

"Tadi Raya mau video call Bunda, tapi disana sinyalnya susah," lanjutnya.

"Emangnya itu dimana?" tanya Dewi

"Nggak tau namanya. Nggak jauh kok, Bun. Sekitar tiga puluh menit perjalanannya."

Dewi mengusap lembut surai panjang Raya. Semenjak bersama Angkasa, putrinya itu banyak berubah. Lebih terbuka dan lebih banyak bercerita. Dewi tahu, Angkasa yang sering mengajak Raya ke tempat-tempat yang Raya sukai saat dirinya disibukkan oleh urusan butiknya. Beberapa kali Raya merengek pada Dewi maupun Gio untuk mengajaknya ke suatu tempat yang ia impikan, namun beberapa kali pula Dewi dan Gio menunda karena urusan pekerjaan. Sampai Angkasa yang kemudian membawa Raya ke tempat yang ia inginkan itu.

"Raya pengen kesini sama Bunda, sama Ayah, sama Aurel juga," lanjutnya. Dewi sudah menduga. Jika Angkasa mengajak Raya ke suatu tempat yang disukai, putrinya itu pasti akan mengajaknya untuk kesana bersama dirinya dan keluarga.

Sepertinya Dewi melewatkan banyak hal. Bukan hanya soal tempat. Angkasa seringkali mengajak Raya untuk mencoba berbagai makanan diluar sana. Seperti biasa, jika dirasa enak, Raya akan memaksa Dewi untuk mengunjungi tempat makan itu bersama Gio juga Aurel.

Tidak ada alasan bagi Dewi untuk tidak mempercayakan Raya pada Angkasa. Bahkan laki-laki itu juga memberikan perhatiannya pada Aurel, adik Raya yang masih duduk di bangku kelas 9 SMP.

"Iya, kapan-kapan kita kesana ya?"

Raya mengangguk kecil dengan kepala yang menunduk, sedangkan jari tangannya tak henti-henti menggeser beberapa foto dalam ponselnya.

"Raya tadi juga makan nasi goreng ini, Bun. Enak banget. Biasanya Raya nggak habis kalo makan porsi makanan luar karena banyak banget. Tapi kali ini Raya habisin nasi gorengnya, soalnya enak," ucap Raya begitu melihat foto nasi goreng yang ia makan bersama Angkasa tadi.

"Oh iya? Bunda jadi kepo, seenak apa si? Lain kali kalo kamu mampir kesana, bungkusin buat Bunda satu ya?"

Dewi melihat anggukan semangat dan binar di wajah Raya. Dewi tahu, putrinya itu selalu ingin orang lain dalam keluarganya juga merasakan makanan enak yang pernah ia coba.

"Tidur ya? Udah hampir jam sepuluh," Dewi mengingatkan. Raya melirik sekilas kearah jam dinding, mengangguki ucapan Dewi. Dewi bangkit mematikan lampu biasa dan menggantinya dengan lampu tidur.

Raya menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. Menunggu Dewi keluar dari kamarnya sebelum memejamkan mata.

Di lain tempat, Angkasa baru saja selesai mencuci muka. Ponselnya menyala menampakkan beberapa notifikasi. Ia melirik jam begitu membalas pesan dari Raya namun hanya menunjukkan lambang centang satu. Pasti sudah tidur, pikirnya. Angkasa mengecek pesan berikutnya. Pesan balasan dari seseorang yang membuat rasa khawatir Angkasa berubah menjadi rasa lega.

Sania
Gue abis dari luar, Angkasa
Nemenin Mama beli sesuatu
Lo gausah khawatir, gue gapapa

oo00oo

ANGKASA RAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang