08. Saling

598 152 33
                                    

Kecuali daripada rumah Melvin—yang diam-diam saat malam tertentu suka ia kunjungi selaku agenda penghiburan, jujur Tama sudah tidak memiliki sisa lingkar pertemanan lain yang masih ia jaga dengan erat. Semua kontak kawan yang ada di SMA Aksara—nama sekolah lamanya—maupun bekas perkumpulan sejenis, sengaja Tama putuskan demi menutupi keberadaan. 

Setelah kasus narkobanya diketahui oleh pihak sekolah—dan segera ketika dihubungi Ayah meminta rahasia tersebut tetap dijaga secara internal, Tama pikir adalah hal yang baik untuknya tidak lagi melibatkan diri ke sekitar mereka. Alasannya, semua yang Ayah kenal dekat dengan Tama dan dianggap serupa bermasalah, spontan dijadikan sasaran empuk terkait dari mana sebetulnya Tama dapat memperoleh obat-obatan terlarang.

Kala itu, bahkan Ayah sempat pergi mendatangi rumah kawan-kawannya niat mempertanyakan apakah ada yang berafiliasi dengan pengedar atau tidak. Tuduhan berbalut bincang kekeluargaan yang parahnya turut menyertakan peran orang tua tersebut, tentu memicu kecemasan tertentu sehingga mayoritas dari teman lamanya ikut dicurigai serta diawasi atas perbuatan yang tidak mereka lakukan. Sebelumnya, padahal Tama sudah bilang bahwa mereka tidak ada kaitannya terhadap bubuk heroin yang ia bawa. Namun, Ayah tetaplah sosok yang senantiasa mengedepankan kewaspadaan, jadi Tama lebih baik menjauh agar mereka tidak semakin dirugikan.

"Terus, kabar Angkasa sekarang gimana?"

Entah kenapa, sesuatu mengenai keberadaannya yang sering kali turut mengganggu kehidupan orang lain, kini membuat Tama begitu rentan sehingga ia cenderung membungkus dunianya rapat-rapat. Meski demikian, di antara berat keputusannya untuk meninggalkan mereka semua, sama kasusnya seperti Melvin, ternyata Tama tidak sanggup membuang kepeduliannya pada satu orang terbaik di SMA Aksara yang menjelma sobatnya sedari kecil.

"Sumpah, ya, gue, tuh, berasa jadi mediator sepasang kekasih yang sok-sokan mau perang dingin, padahal aslinya saling peduli setengah mati tau nggak? Masalahnya, kalian berdua itu sama-sama cowok."

Sempat mendengkus kecil, Tama pun menyeruput jus jeruknya melalui batang sedotan. Mengakhiri waktu petang ini—selepas ia sukses membantu Pak Kidin berkencan di warung Teh Nita, Tama sedang mampir ke suatu kafe untuk bertemu seorang perempuan selaku pemberi informasi tentang kabar sahabatnya. "Nggak usah cemburu begitu. Pacarnya dia itu, 'kan, lo, Ngi." 

"Ish, gue sama Angkasa, tuh, belum jadi apa-apa tau." Gadis—yang bernama Pelangi—tersebut cemberut sedikit mengalihkan pandangan. Sejurus kemudian, ia berucap, "Dibandingkan tanya kabar dia, seharusnya lo lebih prihatin dengan keadaan gue. Udah lewat satu semester ini, Angkasa manisnya semakin keterlaluan, tapi gue nggak melihat ada tanda-tanda dia mau tembak gue. Lo bisa bayangin nggak, sih, betapa tersiksanya gue terus dibaperin tanpa kepastian?"

Mendengarnya, Tama sontak tergelak kencang sembari menyingkap sebagian mukanya menggunakan sebelah permukaan tangan. Sesaat gelagatnya sudah puas menertawakan perjalanan cinta antara Pelangi bersama sobatnya tersebut, kedua bahu Tama mengedik pelan mengatakan, "Ya, mana tau gua Angkasa berpotensi jadi soft boy yang suka main tarik ulur perasaan? Kayaknya, ujung kisah romansa lo ada di ambang bahaya, deh, Ngi."

"Tam, jangan ngomong begitu, dong! Gue bisa beneran panik, nih," ujar Pelangi menautkan alisnya tampak melayu. "Padahal gue udah pernah bilang sayang pakai cium pipi Angkasa segala waktu itu. Seharusnya, tindakan gue berdampak, 'kan?"

"Astaga, lo serius, Ngi?" seru Tama membulatkan bola matanya terkejut. Ia tidak menyangka laki-laki yang ia kenal dingin dan kalem tersebut mendahuluinya mendapatkan ciuman seorang perempuan meski hanya di pipi. "Sebenarnya, lo udah menodai tubuh Angkasa sejauh apa, sih?"  

"Tama! Mulut lo masih suka sembarangan aja, ya?" Seraya memasang raut wajahnya terbilang jengkel, jemari Pelangi bergerak maju hendak mencubit lengan Tama. Dasar, kebiasaan berpikiran mesumnya belum hilang juga ternyata. "Intinya, kabar Angkasa baik-baik aja dan gue bakal selalu berusaha buat dia bahagia. Lo nggak perlu khawatir, Tam. Sebaliknya, justru aksi lo yang menjauh dari dia begini malah bikin Angkasa jadi sedih tau? Nggak jarang, Angkasa suka kelihatan cemas dan pas gue tanya ada masalah apa, semua yang dia ceritain pasti berpusat ke diri lo."

MALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang