03. Gelombang

888 202 132
                                    

Menjadi rajin atau apa pun itu yang berkaitan dengan usaha Tama dalam mengurangi tingkat kenakalannya, semakin lama rasanya semakin tidak relevan untuk sekadar dapat diyakini akan terwujud suatu hari nantinya. Bukan maksud Tama tidak tahu diri, remaja laki-laki itu paham betul dia mempunyai segudang kesalahan. Tetapi, mencoba memperbaikinya satu per satu, menurutnya membutuhkan proses yang teramat panjang.

Tama pikir, segala permintaan berkedok 'Kapan kamu berhenti jadi anak bandel?' ini bernilai omong kosong belaka sebab mau sebesar bagaimana pun ia mencoba, kalimat bertanda teguran lagi-lagi akan menempel di balik punggungnya. Betapa melelahkannya ketika Tama baru saja memulai langkah agar setidaknya dipandang sesuai atas kebijakan umum yang tertera pada tata tertib sekolah, upayanya tersebut tidak pernah cukup memuaskan bagi mereka yang menuntut perubahan. Setiap kali Tama berhasil menuruti sebuah aturan, masalah lain selalu muncul kembali mengoreksi tabiat buruknya—yang tak terelakkan lagi sepanjang apa jika dibuat daftar tulisan. Sudah tidak membolos kelas, tetapi ia tetap dimarahi karena ketahuan tidur saat jam pelajaran. Telah mengenakan pakaiannya secara rapi, namun ia tidak lolos inspeksi lantaran lupa membawa dasi.

"Minggu kemarin baru kali pertamanya, loh, Ibu, kasih kalian PR! Dan yang tidak mengerjakan ada tiga orang?"

Seperti halnya yang lalu, hari ini pun begitu, padahal suasana hati Tama sedang bagus untuk datang tepat waktu ke sekolah. Lamun, ia masih tak sanggup menghindari kemarahan guru lantaran tidak menggarap PR perhitungan ekonomi. Ya, masa bodolah. Setidaknya, di kelas baru yang ia tempati sekarang, Tama bukanlah satu-satunya siswa yang dapat dikatakan pemalas. Di sampingnya, dua orang laki-laki yang memiliki perawakan serta wajah nyaris serupa ikut berdiri menemaninya di muka parket hadapan kelas.

"Bu, serius, deh, saya nggak lupa kerjain PR. Bukunya nggak kebawa aja karena kemarin pas saya susun tas, yang saya lihat itu jadwal untuk kelas sebelas kemarin. Soal-soal yang Ibu kasih waktu itu udah saya selesain semua, kok."

Oh, sebentar. Tama lupa akan tipikal pelajar di SMA Bina Bangsa. Ternyata hanya dirinyalah yang murni tidak mengerjakan PR. Ia menarik lagi asumsinya tadi.

"Terus apa yang bisa bikin Ibu percaya kalau ucapan kamu itu bukan sembarang alasan?"

"Hmm ... Ibu bisa tanya kembaran saya selaku saksi mata saya. Soalnya sama kayak saya, dia salah lihat jadwal juga. Makanya kita berdua ada di sini, hehe," ucapnya meringis tipis-tipis.

Saudaranya pun menyahut dari sebelah, "Betul, Bu. Biasalah, anak cowok kadangan suka ceroboh. Ditambah ikatan batin kami yang kuat gara-gara lahirnya kembar identik, kalau salah, ya, seringnya begitu. Apa-apa bawaannya paketan."

Refleks, Tama mendenguskan tawa geli mendengarnya. Laki-laki itu menundukkan kepalanya sedikit untuk menyembunyikan respons yang tentu tidak akan disukai oleh gurunya tersebut. Si kembar ini pintar juga beralasan.

"Jangan main-main, ya!" Sesuai dugaan, guru mata pelajaran ekonomi yang tidak Tama ingat namanya itu pun terpicu emosi. Telunjuknya mulai terangkat tinggi menyuar kuasa di depan siswa yang menurutnya kurang ajar. "Kalian pikir Ibu bisa dibohongi seperti guru-guru di kelas sebelas sebelumnya? Kalau diberi tugas, ya, dikerjakan! Ibu nggak suka murid Ibu ada yang lalai! Di sisi lain, secara nggak langsung kalian itu nggak menghargai peran ibu selaku pengajar! Ini pakai berbohong segala."

Ah, ini dia. Tambah lagi satu guru yang bakal masuk ke dalam blacklist-nya Tama. Bukan karena wanita tua tersebut berkesan galak atau mempermasalahkan siapa yang tidak mengerjakan PR, melainkan Tama paling jemu terhadap mereka yang menutup telinga atas penjelasan yang diutarakan siswa-siswi. Di sekolah mana pun, sejak SD, SMP, atau SMA, Tama selalu menciptakan blacklist khusus mengecualikan tipe-tipe pengajar menyebalkan layaknya begini. Nilai empati mereka mati dijajah kuatnya otoritas. Menghargai peran selaku pengajar bagaimana? Coba beri tahu Tama caranya bisa menentukan harga apabila sampel yang disajikan terlampau buruk untuk sekadar ia amati.

MALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang