58. Impian

279 29 12
                                    

Entah sudah berapa kali keyakinan ia putar sejak lebih dari seminggu banyak lika-liku buruk terjadi di kehidupannya, Tama pikir, sekian hal baik memang akan selalu datang usai kesedihan mengisi lubang hatinya tak terkira. Setelah berbaikan dengan Alfa, Farhan, Zaki, dan si Kembar, kini Tama resmi bergabung dalam lingkar persahabatan tersebut semakin berdekatan.

Setiap hari dapat ikut bercengkerama di tengah kantin tanpa keberatan, berkumpul bebas meluangkan waktu bermain bersama di akhir pekan, serta dapat rutin belajar dan mendiskusikan permasalahan apa pun bersama mereka berlima, merupakan suatu anugerah baru yang tidak dapat Tama sangkal kebahagiaannya.

Di luar itu, pada satu malam ketika Tama ikut berkumpul di rumah Alfa, pada akhirnya Tama menceritakan beberapa hal tentang mengapa ia begitu kacau pada minggu-minggu sebelumnya. Bukannya dengan paksaan, melainkan dari hatinya yang paling dalam, Tama ingin mencoba memercayakan sebagian rahasia hidupnya terhadap kelima sahabat barunya tersebut.

Perihal alasan kenapa ia begitu tidak percaya diri setiap menghadapi masalah di bidang akademik, tentang sedikit buruk hubungannya dengan sang Ayah yang cukup mudah memicunya tak nyaman berada di rumah, juga ia yang baru saja tahu bahwa semangatnya untuk menyambung tali kasih sayang yang sempat terputus itu ternyata tidak sama dengan sang Bunda.

Kendati begitu, alih-alih serius membicarakannya, Tama membiarkan lagat humornya bekerja seolah ingin semua menganggapnya biasa-biasa saja. Selain daripada Angkasa dan Melvin yang hadir menemani kisah hidupnya secara langsung, Tama masih kaku untuk mendeskripsikan segenap perasaannya. Namun, perhatian yang diberikan oleh Alfa, Farhan, Zaki dan si Kembar usai mendengar ceritanya, justru tidak kalah besar memberikan perhatian yang ia butuhkan.

"Kok, bisa, sih, gua nggak tau soal beginian? Seberapa banyak hal buruk yang lo laluin sampai sekarang?"

"Tam, gua nggak tau lo punya kehidupan yang semacam itu. Maaf, gua malah marah-marah nggak jelas pas kemarin. Gua benar-benar teman yang buruk."

"Lo gila, ya, Tam? Masalah kayak begini nggak seharusnya lo simpan sendiri! Now that you have us, now and then actually, you should tell us immediately about anything that got into your mind. At least, we could help to make you feel accompanied and not to drown in your sadness."

"Iya, gua paham, kok. Lagian, ini bukan salah lo semua. Jangan bilang maaf terus. Ini semua soal gua yang perlu mengelola perkara yang gua hadapin jadi lebih baik lagi. Di luar itu, gua kira sedikitnya lo udah dengar tentang itu dari sidang kemarin? Bu Zahra nggak singgung apa-apa soal hubungan gua sama Ayah gua?"

"Bu Zahra? Beliau cuma jelasin perihal kesulitan belajar dan faktor lain yang mungkin berpengaruh pada sikap bandel lo aja, sih. Tapi, sebelum hasil sidang diputuskan, kita disuruh keluar duluan. Menimbang Bu Zahra bawa semacam dokumen tertentu, kayaknya Bu Zahra punya bahan diskusi lebih yang nggak boleh kita dengar. Kecuali Juan yang masih ada di situ."

"Oh, kalau dari Alfa?"

"Alfa?"

"Yoi, Alfa. Kemarin pas gua bertengkar sama dia, gua sempat keceplosan hal-hal yang gua sembunyikan."

Sejujurnya, adalah hal yang di luar perkiraan Tama menimbang Juan mungkin merupakan satu-satunya orang yang sedikit mengetahui konflik personalnya melalui sidang tersebut. Pasalnya, setelah ia berjumpa kembali dengan Juan usai di pertemuan terakhir itu, Juan tidak pernah menyinggung apa pun kecuali dari perubahan sikapnya yang perlahan mulai terbuka terhadap obrolan. Hal tersebut, entah kenapa utuh meyakinkan Tama bahwa meski Juan dan Alfa sama-sama gemar berterus-terang dan semangat sekali meledeknya sebagai pecundang, mereka berdua tetaplah pandai menjaga rahasia.

MALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang