tanda koma - atsumu miya

1. variabel

Bersikap jujur itu sulit, begitulah orang-orang mengatakan.

Ah, memangnya apa yang kau harapkan dari seutas kalimat tersebut? Sedang berkhayal bahwa akan ada sosok yang dapat membuka diri sepenuhnya untukmu? Bahkan, dia yang mengucap patah kata berisi fakta itu belum tentu menggunakan hatinya saat bertegur sapa.

Mulut dan hati itu adalah dua hal yang jauh berbeda. Bagai bumi dan angkasa, mereka sulit untuk diselaraskan. Namun, fungsinya tentu sepadan. Sama-sama sebagai sarang tinggalnya keseluruhan fenomena yang tak akan ada habisnya.

Entah bagaimana prosesnya, aku malah berusaha untuk membenarkan fakta itu. Memang, semua mengakui bahwa jujur itu sulit. Tapi, apakah bersikap munafik adalah jalan mudahnya?

"Jaga lisanmu. Maka hatimu, atau bahkan hatiku, akan sama damainya seperti laut mati itu." Dan ia pernah mengatakannya. Hanya basa-basi semata yang berhasil melandaskan ribuan kupu-kupu dalam dada. Mungkin hanya satu detik, tapi sifat aslinya itu dapat tertutup dengan rapi.

Saking sunyinya suasana pantai pada petang ini, aku pun dapat merasakan betapa lambatnya trakea mengeluarkan hembusan karbondioksida dalam tubuh. Terlalu lambat. Tidak-maksudku, bisakah ia langsung mengerutkan kurva usai mengucap rangkaian kata tersebut? Seperti yang biasa ia lakukan.

"Bagaimana? Bagaimana rasanya jika mendengar ucapan itu dari seseorang yang setiap hari selalu menipumu, [name]?"

Namun, aku tak pernah mengerti cara sudut pandangnya berputar. Diriku lelah, dengan segala keterbatasan yang aku-maupun dia miliki.

"Mau disudahi saja?"

Dia, Atsumu Miya, seorang pria yang telah berani mengucap pamit usai menyisakan tanda tanya. Dan, diriku, seorang wanita yang selalu mengutipkan tanda seru di setiap jawaban atas pertanyaan Atsumu.

Aku maupun dia tak akan bisa selaras. Seperti mulut dan hati. Ataupun seperti bumi dan angkasa. Namun, setidaknya, kami masih memiliki satu kesamaan.

Satu kesamaan tentang perasaan, yang masih diakhiri dengan tanda koma.