2. presensi

171 29 3
                                    

Mau dipikir sekali atau berulang kali pun, mata pelajaran di hari Senin memanglah sangat memprovokasi.

Mungkin saja karena diriku yang tak kunjung terbiasa dengan teriknya mentari di saat apel pagi. Walau hanya berdurasi lima belas menit, tapi tetap saja menghabiskan energi. Bahkan, seragam putih bersih yang baru kusetrika pagi tadi sudah berakhir dengan guyuran peluh yang tak dapat kubendung.

Baiklah, kembali ke topik sebelumnya, tentang pelajaran yang akan kudapat usai berbaris rapi di bawah matahari itu. Pendidikan jasmani. Benar, jam pertama yang akan kudapat adalah mata pelajaran olahraga. Tak ada bedanya dengan aktivitas sebelumnya. Benar-benar melenyapkan niatku untuk pergi ke sekolah.

Andai saja kau tidak hadir, mungkin aku akan berencana untuk membolos.

Dulu, aku pernah mengatakannya pada teman sebangkuku.

Namun, semakin waktu berlalu, entah bagaimana caranya, Atsumu Miya telah merebut posisi itu. Ia yang tak pernah absen untuk menunjukkan eksistensinya kepadaku, telah menjadi sebuah kebiasaan baru.

Setidaknya, untuk hari ini, kembali bertemu dengan Atsumu Miya adalah niatku untuk pergi ke sekolah. Terdengar konyol, tapi, mau tak mau aku harus mengakuinya.

Ah, omong-omong, sekarang dia sedang apa, ya?

Selepas mengganti pakaian olahraga, aku berencana untuk menghampiri kelas sebelah—yang merupakan tempat dimana Atsumu berada. Hanya kontak mata kurasa sudah cukup. Aku tak bisa mengharapkan lebih di saat jam pelajaran ini.

Samar-samar kudengar, kelas sebelah tengah melakukan presensi mapel pertama. Jika suaranya sekeras ini, bisa jadi Tachibana sensei lah pelaku kegaduhannya. Ah, pelajaran biologi di hari Senin. Mungkin aku harus menyemangati Atsumu di jam istirahat nanti.

Perlahan, aku mencuri pandang pada beberapa siswa di kelas tersebut. Ada Rintarou, yang tengah memangku dagu dengan telapak tangan. Juga ada Osamu, yang tengah menenggelamkan kepala di antara kedua lengannya. Tapi, Atsumu ...

Dimana dia?

"Miya Atsumu," Tachibana sensei berucap ketus, seraya menunggu suara nyaring yang hendak menunjukkan presensinya.

Namun, yang didapat hanyalah suara kipas angin tua yang berputar di langit-langit kelas. Satu kelas kompak tak bersuara. Entah karena mereka tak tahu faktanya, atau karena mereka sudah memiliki fakta namun enggan untuk mengatakan.

"Miya Osamu? Di mana—"

"Tunggu saja," Osamu bersuara. Masih menyembunyikan kepala di antara kedua lengannya.

Diriku yang tak bisa berhenti untuk berpikiran negatif tentang Atsumu pun juga turut menunggu percakapan berikutnya. Bisa saja lelaki itu sedang terbaring sakit di kamarnya, bukan? Namun, mengapa Osamu tidak langsung membeberkan fakta? Apakah Atsumu membolos? Tapi, mengapa Osamu menyuruh semua untuk menunggu?

Dan, astaga, aku pun tidak sadar jika ada seseorang yang menepuk punggungku berulang kali. Wajar saja, sudah beberapa menit aku termenung di dekat jendela kelas 2-4. Pasti ketua kelas tengah mempersiapkan diri untuk pemanasan.

"Hei."

Aku pun menoleh, usai mendengar Tachibana sensei melanjutkan presensi.

Mengetahui jika si pelaku kecemasanku lah yang telah menepuk punggungku dengan wajah tak bersalah, aku pun berakhir ditertawai oleh Atsumu karena sudah memasang ekspresi lucu. Dasar. Seharusnya kan, kau yang jadi badutku.

"Yah, untung saja pak petugas itu masih berbaik hati untuk membukakan gerbang untukmu."

"T-tapi, [name], aku harus membuat alasan apa jika ditanya Tachibana sensei?"

Kakiku buru-buru bergerak menendang pantat Atsumu. Hitung-hitung sebagai pemanasan sebelum lari keliling lapangan. "JAWAB SEJUJURNYA!"

Sungguh, aku lupa jika Atsumu Miya juga memiliki kebiasaan membenci hari Senin.

tanda koma - atsumu miyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang