Yang paling menyakitkan dari sebuah ekpektasi adalah ketika hayal itu tak seindah realita yang terjadi.
💮💮💮
helaan nafas putus asa menguar di ruang dominan putih itu, sang empu menatap nanar pesan pesan yang ia tulis, bercentang dua tanpa ada warna biru, air mata yang sedari tadi tertahan tak bisa lagi di bendung tumpah tak lama ketika ia menaruh Smartphone di atas nakas, menutup muka menggunakan kedua telapak tangan, menangis tersedu.
Sepuluh menit ia habiskan tuk mengeluarkan air mata, tiga menit tuk mengatur nafas tersengal kembali normal, tapi perlu waktu yang cukup lama tuk mengembalikan mata bengkaknya seperti semula, tak apa, toh juga di ruang ini tidak ada siapapun kecuali durinya, dengan tertatih tubuh itu turun dari ranjang, berjalan menuju sofa yang terletak sepuluh langkah, mengambil pulpen dan sebuah buku.
Sampul bukunya berwarna peach polos tanpa motif, kertasnya berwarna kuning tua tanpa line, gadis itu mulai menulis, mengukir pelan tinta di atas kertas, merangkai kata, menahan air mata yang lagi lagi ingin tumpah, namun sekuat tenaga ia tahan, kertas ini tak boleh basah pikirnya ia harus kuat.
Waktu berjalan cepat, tiga puluh menit berlalu, buku berwarna peach itu kini telah ditutup diletakkan di atas nakas dengan bolpoin biru di sampingnya, sang gadis kini telah tertidur lelap di atas ranjangnya, nafasnya pelan teratur keluar,
Waktu bergerak cepat, satu jam berlalu, nafasnya kian memelan, tetap teratur keluar.
Pelan....
Perlahan......
💮💮💮
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day At A Time
General FictionAkan ada hari indah di antara hari hari buruk yang kau alami, entah sekarang atau nanti kau tak akan pernah tau