Menu
YANG TERASING-02
12 Votes
Bagian 2
Sejenak kemudian Puranti melihat Pikatan mulai bergerak-gerak. Mula-mula kepalanya, kemudian tangan dan kakinya bergeser sedikit.
Puranti menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia maju mendekat. Seolah-olah ia ingin mengguncangnya, agar Pikatan menyadari dirinya.
Pikatan perlahan-lahan membuka matanya. Sambil mengerutkan keningnya, anak muda itu ingin melihat, bayangan yang samar-samar dan yang semakin lama menjadi semakin jelas.
“Guru” desisnya. Tetapi ketika ia mencoba untuk segera bangkit, tangannya yang sebelah kanan terasa betapa sakitnya, sehingga tubuhnya kembali terbaring dengan lemahnya.
“Berbaring sajalah” berkata Kiai Pucang Tunggal, “jangan berusaha, bangun dahulu. Tenangkan hatimu, dan cobalah menguasai segenap perasaan dan nalar”
Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya sejenak wajah Puranti yang tegang.
Ketika tatapan mata mereka bertemu, terasa dada keduanya berdesir tajam. Pikatan merasa bahwa ia telah diselamatkan olehnya, namun sekaligus, perasaan malu yang tiada taranya telah mencengkamnya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki benar-benar telah tersinggung, karena justru Puranti lah yang telah melindunginya. Bukan sebaliknya seperti yang setiap kali dikatakannya.
Kiai Pucang Tunggal yang bijaksana, seakan-akan dapat membaca perasaan anak muda itu. Karena itu, maka katanya, “Pikatan. Jangan hiraukan apa yang sudah terjadi. Akulah yang telah berbuat untukmu, karena aku tahu, bahwa kau tidak akan mampu melawan kedua orang lawanmu itu. Tetapi sudah tentu tidak sepantasnya aku turun ke arena. Karena itu, aku suruh Puranti menjadi wadag perkelahian, dan aku mengamatinya dari kejauhan”
Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Luka di pundaknya terasa semakin pedih menggigit tulangnya.
“Kalau keadaanmu sudah berangsur baik, kita akan segera kembali ke Gajah Mungkur. Kau akan mendapat perawatan sampai luka-lukamu sembuh”
Pikatan tidak segera menjawab. Terasa dadanya menjadi semakin bergejolak.
“Tenangkanlah hatimu”
Tetapi jawab Pikatan telah mengejutkan gurunya, “Terima kasih guru. Ternyata aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Aku sudah mengecewakan pimpinan prajurit Demak, karena aku gagal didalam pendadaran ini. Tetapi terlebih-lebih lagi, aku sudah gagal menjunjung nama perguruanku. Bahkan aku telah diselamatkan oleh seorang gadis yang selama ini aku anggap sebagai adikku yang harus aku lindungi”
“Jangan pikirkan yang bukan-bukan. Sekarang kau terluka. Kau harus mendapat kesembuhan dahulu, sebelum kau menentukan sikap apapun juga”
Tetapi Pikatan menggelengkan kepalanya, “Biarkan aku menebus segala kekecewaan itu. Tinggalkan aku disini guru. Pada suatu saat aku akan menghadap guru dan mempersembahkan kemenangan yang kini lepas dari tanganku”