Bagian 1

90 2 0
                                    

Menu


YANG TERASING-01





14 Votes

YANG TERASING

JILID 1

AWAL | lanjut

KETIKA senja yang kemerah-merahan mulai menjamah Hutan Sambirata, maka pedukuhan-pedukuhan di sekitarnya menjadi semakin sepi. Burung-burung liar yang berterbangan diatas hutan sempit itu seakan-akan saling berebutan mencari tempat untuk hinggap. Namun akhirnya hutan itu masih juga mampu menampung segala jenis burung yang kemalaman.

Perlahan-lahan bulan yang bening tumbuh diatas punggung bukit melemparkan sinarnya yang kekuning-kuningan. Selembar awan yang putih terbang menyapu wajahnya yang cerah.

Beberapa orang laki-laki tampak berjalan tergesa-gesa di pematang. Setelah mereka bekerja seharian di sawah, maka mereka ingin segera pulang kembali di antara keluarganya, menghirup minuman panas dengan gula kelapa yang manis.

Hari ini mereka pulang agak 1ambat, karena mereka menunggui air parit yang hanya mengalir sepercik karena musim kering yang panjang.

Ketika mereka menyeberangi Kali Kuning, mereka berhenti sejenak untuk mencuci cangkul mereka yang kotor, membersihkan lumpur yang melekat di tangan dan kaki. Kemudian bergegas kembali pulang ke rumah masing-masing.

Seorang yang berambut putih, yang berjalan di paling belakang tertegun sejenak ketika ia melihat. seorang gadis yang berdiri didalam bayangan dedaunan di ujung sederet pering ori yang tumbuh di pinggir sungai itu.

“Siapa disitu?” bertanya laki-laki berambut putih itu.

“Aku Kek” jawab gadis itu.

“Kau Wiyatsih?”

“Ya kek.”

“Kenapa kau disitu? Sebentar lagi malam akan menjadi gelap.”

“Tidak. Sebentar lagi bulan akan naik ke langit”

Laki-laki berambut putih itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tidak pantas kau berada disini seorang diri. Marilah pulang. Nanti orang tuamu mencarimu.”

Wiyatsih tidak menjawab. Ia masih saja berdiri dibawah dedaunan.

“Apakah yang kau tunggu disini?”

“Bulan itu kek. Sinarnya yang kuning akan memantul di wajah air kali yang bening.”

“Ah. Apakah kau sedang bermimpi?” tetapi orang tua itu menengadahkan wajahnya juga. Dilihatnya bulan merayap semakin tinggi. Dan cahaya fajar yang kemerah-merahan pun menjadi semakin kabur.

“Pulanglah, “ berkata laki-laki itu.

“Silahkan kakek dahulu. Aku akan segera menyusul.”

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memaksa. Ditinggalkannya gadis itu di tepian yang menjadi semakin samar.

Sepeninggal laki-laki tua itu, Wiyatsih melangkahkan kakinya turun ke dalam air. Kali Kuning memang tidak begitu besar. Tetapi airnya tidak menjadi kering meskipun hujan tidak turun sampai berbulan-bulan.

“Kakang Pikatan pernah menekuni Kali Kuning ini” gumam Wiyatsih kepada diri sendiri.

Sejenak ia berdiri merendam. kakinya. Dipandanginya air yang mengalir di sela-sela batu yang berserakan. Memercik seakan-akan berkejar-kejaran.

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kalau kakang Pikatan berhasil membuat bendungan itu, maka sawah di padukuhan ini tidak akan mengalami kekurangan air, betapapun musim yang kering membakar daerah ini. Tetapi kakang Pikatan pergi sebelum ia mulai. Pergi untuk waktu yang tidak terbatas” Wiyatsih mengangkat wajahnya, memandang jalur jalan sempit yang melintasi sungai itu

Yang TerasingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang