3. Keadaan

11 0 0
                                    

"Nara masuk dulu bi"  Nara melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah bernuansa modern milik Papah nya itu.

Ceklekk

Pintu terbuka menampilkan ruang tamu yang sepi. Ah mungkin mereka sedang di kamar, atau mungkin Papahnya sedang di kantor?

Saat hendak menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya sebuah seruan membuatnya menghentikan niatnya itu.

"Masih ingat pulang juga ya kamu" mau tak mau Nara membalikkan badannya untuk melihat lawan bicaranya itu.

"Papah"

"Jangan panggil saya Papah, saya tidak merasa memiliki anak seperti anda"

Deg.'

Kenapa rasanya masih sama? Masih terasa sakit saat Papahnya itu enggan menganggapnya sebagai seorang anak.

"T-tapi-"

"DIAM!" sekujur tubuh Nara menegang mendengar bentakan itu. Ini bukan kali pertama Papahnya memberi bentakan seperti itu, tapi rasanya tetap sama. Sakit.

"Pembunuh macam kamu tidak pantas menginjakkan kaki di sini."

"Na-nara bukan pembunuh" Nara menjawab gugup. Faktanya dia sangat takut melihat Papahnya ini.

"DIAM. SAYA TIDAK MENYURUH ANDA BERBICARA" tak dapat dibendung air mata yang sejak tadi Nara tahan kini meluruh melewati pipinya. Rasanya pilihan nya untuk pulang kerumah adalah sebuah kesalahan.

Tak lama kemudian tiba tiba Nara merasakan sebuah pelukan dibelakang tubuhnya. Hangat. Setidaknya pelukan itu bisa mengurangi rasa takutnya walau tak meredakan tangisannya.

"Papah kenapa bentak bentak kak Nara? Stop Pah, kak Nara gak salah" Zila, itu suara Zila dan dia juga yang memeluk tubuh Nara erat, berusaha menenangkannya.

"Zila kamu kembali ke kamar. Gak usah kamu bela pembunuh satu ini"

"Kak Nara bukan pembunuh pah, semua itu murni kecelakaan" Zila masih kukuh membela kakak kandungnya itu.

"Zila kamu gak usah ikut campur, cepet kembali ke kamar." Zila menggeleng sebagai jawaban. Dia tak mungkin meninggalkan dan membiarkan kakak nya itu dibentak oleh Papah nya sendiri.

"CEPAT ZILA!" seolah perintah mutlak, mau tak mau Zila melepaskan pelukan di tubuh Nara dan berniat kembali menuju kamarnya.

Tapi sebelum itu dia membisikkan sesuatu pada Nara yang entah kenapa membuat Nara sedikit tenang. "Zila yakin kak Nara kuat, dan Zila yakin kakak bisa laluin semuanya. Zila selalu ada buat kakak" setelah itu dia menaiki tangga dan masuk kekamarnya meninggalkan Nara yang masih harus menerima seluruh bentakan dari Papahnya.

"Jangan harap kamu bisa mendapat perlakuan baik di rumah ini." Mr Ervan membalikkan tubuhnya berniat meninggalkan Nara namun sebelum itu,

"Saya harap kamu bisa benar benar pergi dan tidak usah kembali kerumah saya LAGI" Mr Ervan menekankan kata 'lagi' pada ucapannya lalu setelah itu dia pergi menuju kantornya.

Nara segera berlari menuju kamarnya di lantai dua lalu mengunci pintunya dari dalam. Dia membanting tubuhnya pada kasur lalu menangis terisak dalam diam, hampir satu jam lamanya.

Namun tiba tiba saja asmanya kambuh, nafasnya tersendat, dadanya terasa sesak. Dengan bergegas Nara beranjak mencari tas nya lalu mengacak acak isinya dan mengambil satu barang yang sangat dibutuhkan nya saat ini. Inhaler. Nara menghirupnya sambil berusaha menetralkan nafasnya agar kembali normal. 

"Penyakit sialan" gerutunya.

Setelahnya Nara kembali menaiki kasurnya berniat mengistirahatkan tubuhnya hingga alam mimpi menjemputnya.

MORTAL STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang