PART 2

164 28 13
                                    



🌼🌼🌼🌼


Hari ini dimana aku akan berpisah dengan keluarga, seperti rencana semalam aku akan ikut dengan suami. Meski hanya berkunjung pada keluarga suami, namun meninggalkan keluarga dengan status menjadi istri rasanya berbeda.

"Ape pirang dino ndek kono Nduk?"
("Mau berapa hari disana Nduk?")

"Telung dino paling Mas. Aku gak enak ape cuti suwi-suwi."
("Tiga harian mungkin Mas. Aku gak enak cuti kelamaan.")

Mas Dzarrin mengangguk sembari fokus mengemudikan mobil.

Iqbal berdehem keras. "Ada orang disini," sindirnya.

Seketika aku menepuk dahi. Lupa, jika sang suami belum mengerti bahasanya. Ingin meminta maaf, namun suara Mas Dzarrin lebih dulu menyahutinya. "Makanya lo belajar Bal!" kekeh Mas Dzarrin.

"Ck! Proses lah Bang. Gue bukan asisten google yang cepet niruin," gerutu Mas Iqbal.

Serempak aku dan Mas Dzarrin terkekeh kecil. Tanganku terulur mengusap lengannya. Niat hati meredam kegerutuannya, namun malah di buat jantungan. Tanganku justru di genggam. Sentuhan fisik seperti ini, aku belum terbiasa. Benar-benar terasa kaku.

"Hmm seng manten anyar!"

("Hmm yang pengantin baru!")

Segera aku melepas genggamannya. Mendadak suasana di mobil terasa canggung.

"Loh! Lanjutkan. Aku gak liat. Aku diam. Aku ngontrak," kelakar Mas Dzarrin. 

Kedua pipiku tiba-tiba menghangat. Tanganku menangkup pipi. Awas saja Mas Dzarrin!

Setelah itu aku banyak diam, sedangkan mereka berdua mengobrol entah apa. Hingga mobil melewati gapura tertulis Pondok Pesantren Darussholah, jantungku mulai bereaksi berlebihan.

Tanganku mulai mendingin, dudukku pun gelisah. Pesantren ini penuh kenangan tersendiri. Rasanya aku sudah tak mempunyai wajah, jika terus-terusan menampakkan diri pada dzurriyah sini.

Menolak khitbah dari dua laki-laki dzurriyah ndalem, rasanya sangatlah tidak sopan. Jika ada orang lain yang tahu, akan mencibirku habis-habisan. Siapa yang tidak ingin menjadi istri dari salah satu Gus di pesantren ini. Tentu yang paling akan berteriak lantang adalah para santri putri.

Namun aku yang mempunyai kesempatan itu justru menolak. Terlalu rumit jika di ingat ulang, terlalu sakit jika mengulas kembali dan terlalu sedih jika untuk di ceritakan ulang.

Sudah biarkan masa itu berada disana, tanpa harus ikut ke masa kini. Namun siapa yang tahu isi hati kecuali Allah.

"Nduk!" tegur Mas Dzarrin membuatku menoleh. Ternyata Mas Iqbal juga sama memandangiku. Aku meringis tipis, bisa-bisanya teringat itu.

Segera mengalungkan tas kecil, namun ketika aku ingin membuka pintu mobil ternyata sudah di buka lebih dulu oleh Mas Iqbal. Sebelum keluar Mas Iqbal menahan kedua bahuku.

"Kamu gak apa-apa?" Suaranya lembut tampak khawatir. Aku bisa tahu dari mata coklat itu. Astaghfirullah! Aku sudah membuatnya khawatir.

Tersenyum hangat sambil menggeleng. "Enggak apa-apa. Maaf enggeh."

Mas Iqbal mengusap pelan kepalaku. "Enggak apa-apa. Ayo!"

Aku menyambut uluran tangannya lalu menghampiri Mas Dzarrin yang sudah menunggu di depan mobil bersama beberapa barang untuk sowan.

SEPENGGAL DARI ANGAN season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang