PART 3

134 27 1
                                    


🌼🌼🌼🌼

Tak lama kemudian Dek Reza datang dan entah mengajak Mas Dzarrin dan Mas Iqbal kemana, yang jelas aku ditinggal sendiri bersama Gus Mua'adz yang anteng dalam dekapanku. Lalu aku memutuskan ke dapur ndalem, ingin melihat Umi Rumanah sedang melakukan apa dan sekalian pamit mengunjungi kamar Dek Zahra.

Ketika sampai dapur, sudah tersaji dalam nampan semangkuk sayur bening yang masih mengepul. Lalu aku mengintip Umi Rumanah sedang mengaduk bubur putih. Keningku mengerut tipis. "Mas Mu'adz sampun dhahar bubur nggeh Mi?"

("Mas Mu'adz sudah makan bubur enggeh Mi?")

Meski sedikit ragu, tapi untuk di umur Gus Mu'adz ini memang belum waktunya makan nasi atau semacamnya. Bukan bermaksud su'udzon tapi di jaman sekarang masih banyak orang sepuh yang memaksakan kehendak untuk memberi makanan berat pada bayi yang belum cukup umur. Dengan alasan si bayi agar tidak cepat rewel. Padahal kenyataannya jaman dahulu dengan sekarang itu sudah berbeda jauh. Contoh si bayi di beri pisang. Pohon pisang jaman dahulu masih minim terkena pestisida. Lah kalau sekarang?

Umi Rumanah menggeleng lalu mematikan kompor. "Iyo ora to cah ayu." Sambil mencubit daguku. Aku terkekeh kecil, lega rasanya. 

"Emh, kulo ajenge teng Dek Zahra rien enggeh Umi."
("Emh, saya mau ke Dek Zahra dulu ya Umi.")

Belum mendengar sahutan, aku menatap beliau. Umi Rumanah terlihat ragu sambil memegang nampan yang sudah terisi bubur putih beserta sayur bayam lengkap dengan air putihnya. 

"Emh, Umi nyuwun tulung iyo Nduk?"
("Umi minta tolong iya Nduk?")

"Enggeh, pripun Mi."

"Sekalian sampeyan neng gotakane Zahra. Tulung kancanono Mila ngeterne iki iyo Nduk?"
("Sekalian sampeyan ke asramanya Zahra. Tolong temani Mila mengantar bubur ini iya Nduk?")

Alisku mengerut meski banyak pertanyaan bubur ini untuk siapa, aku mengangguk saja. 

Kami berjalan beriringan lebih tepatnya aku yang selalu menyamakan langkah Mbak Mila. Mungkin Mbak Mila masih canggung, terbukti jika sejak tadi Mbak Mila sengaja mengambil langkah lambat.

"Ajenge di teraken sinten to Mbak?"
("Mau di berikan siapa to Mbak?")

"Damel Gus Faaz, Mbak."
("Untuk Gus Faaz, Mbak.")

Langkahku seketika berhenti, rautku sekilas terkejut lalu menatap nampan yang berada di tangan Mbak Mila. "Gerah?"
("Sakit?")

Mbak Mila yang juga ikut berhenti mengangguk sebagai jawaban.

"Innaillahi wainnaillahi rojiun. Gerah nopo Mbak?" Mimik wajahku tak bisa bohong kalau aku sedang khawatir.
("Innaillahi wainnaillahi rojiun. Sakit apa Mbak?")

"Kulo mireng-mireng gerah lambung ngoten Mbak." Kami meneruskan berjalan yang sempat berhenti. Aku mengangguk sambil tanganku menimang pelan ketika Gus Mu'adz menggeliat. "Terus kulo mireng keng lare-lare, terose mboten sengojo semerep Gus Faaz —."

("Saya dengar sakit lambung Mbak,")
("Terus saya juga dengar dari teman-teman, katanya tidak sengaja melihat Gus Faaz —.")

Tidak mendengar kelanjutan, aku menoleh. Kalau dilihat dari ekspresinya sepertinya Mbak Mila keceplosan. "Semerep nopo Mbak?" desakku.
("Lihat apa Mbak?")

Mbak Mila tidak berani melihatku. "Emh, na-ngis Mbak." Suara Mbak Mila lirih sekali hampir tidak terdengar.

Hatiku mencelos. Menangis njenengan Kang?

"Ampun gosip Mbak!" tegurku bernada bercanda menyangkal yang terjadi.
("Jangan gosip Mbak!")

Mbak Mila semakin menundukkan kepalanya. "Pengapunten Mbak." Aku menghembuskan napas pelan, sebagai balasan aku hanya mengelus punggung Mbak Mila.

Hingga tiba di ndalem Gus Faaz, tampak sepi tidak ada santri yang berseliweran"Mboten enten seng tumut teng ndalem mriki to Mbak?"
("Tidak ada yang ikut di ndalem sini to Mbak?")

"Namung kang-kang e Mbak seng teng mriki." Mbak Mila sambil membuka pintu dapur.
("Hanya kang-kangnya saja Mbak yang di sini.")

Aku mengangguk, suasana semakin sunyi ketika memasuki ruang tengah. Gus Mu'adz yang berada di gendonganku melenguh, segera aku menimangnya.

Masih berada dalam satu ruangan, bedanya Mbak Mila menuju pada salah satu pintu kamar. Sedangkan aku menyapu pandangan, melihat berbagai pernak-pernik yang aku yakini itu hasil dari Almh. Mbak Annisa.

"Waalaikumussalam. Sampeyan salap mriku mawon Mbak."
("Waalaikumussalam. Sampeyan taruh disitu saja Mbak.")

Aku menoleh kala suara serak dari dalam kamar tertangkapku. Menghampiri Mbak Mila yang menata bubur itu di atas meja lalu menangkap mangkuk bubur yang sepertinya sisa kemarin dan itupun masih banyak. Seketika aku berdecak, jiwa-jiwa dokter muncul. 

Aku menyerahkan Gus Mu'adz pada Mbak Mila ketika sudah selesai menata. Lalu aku mengetuk pintu kamar itu.

"Enggeh Mbak, sanjangi Umi mengke kulo maem."

("Enggeh Mbak, bilang sama Umi nanti saya makan.")

Aku melihat Mbak Mila yang sedikit menjauh dari jarakku. "Dhahar sak niki Kang."
("Makan sekarang Kang.")

Senyap tidak ada jawaban dari dalam. Aku mendengus kesal. Ketika berbalik menghampiri Mbak Mila, terdengar gedebuk keras dari dalam kamar. Aku dan Mbak Mila saling memandang.

Ceklek,

"Lu-Luna!" 

Suara serak itu membuatku menoleh, rautku berubah sendu melihat wajah beliau sangat pucat dan juga aku menangkap sorot mata sendu penuh kerinduan.

Kang...




 🌼🌼🌼🌼🌼

08-07-2023






SEPENGGAL DARI ANGAN season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang