PART 6

124 23 3
                                    


🌼🌼🌼🌼


Tidurku terganggu saat gema dering ponsel memenuhi kamar. Mengerjapkan mata sebentar setelah itu berusaha membuka lebar. Ketika akan beranjak perutku seperti tertindih sesuatu, perlahan aku memindahkan tangan itu.

Bunyi dering itu terus menerus tanpa berhenti. Dengan langkah lesu aku menghampiri ponsel yang berada di atas nakas memang posisinya agak jauh dari ranjang. Sengaja alat pintar itu di letakkan jauh dari ranjang, karena kita sama-sama tahu kalau radiasi yang di hasilkan alat pintar itu berbahaya bagi tubuh. 

Mataku menyipit ketika melihat id caller yang tidak bernama itu. Siapa telepon malam-malam seperti ini. Tak ingin berlarut sendiri, aku pun segera menerimanya. 

"Akhirnya kamu terima panggilanku. Kamu lagi tidur iya?"

Alisku mengerut mengingat suara milik siapa. Nihil, aku tidak mengenalinya. Apa itu salah satu perawat dari rumah sakit? Ah, sepertinya bukan. 'Kan aku sudah mengajukan cuti, otomatis nomerku akan di bekukan sementara.

"Halo, kamu masih disana 'kan? Jawab dong! Oh iya besok kamu ada acara gak? Ayo kita jalan."

AKu berdehem pelan. "Maaf ini dengan siapa iya?" 

"Lo siapa? Gue calon tunangan Iqbal. Ngapain lo yang ngangkat, heh?"

"Mas Iqbal?" gumamku.

Seketika aku menjauhkan ponsel itu, reflek menepuk dahiku sendiri. Ini ponsel milik sang suami ternyata. Tapi kok, apa tadi tunangan?

"Sa-safira?" tebakku was-was.

"Ngapain lo sebut si sapi itu. Lo siapa sih? Jangan ganggu calon tunangan gue ya, Kalau iya habis lo di tangan gue. Bilangin ke Iqbal besok pagi suruh temuin gue."

"Astaghfirullah!" helaku mengelus dada setelah panggilan itu terputus. 

Meski saat ini masih berada dalam pernikahan secara agama, bukan berarti pernikahan ini tidak akan di sah kan dalam negara. Statusku tetap istri dari Mas Iqbal. Mataku menatap ke arah pria yang tidurnya hampir memenuhi ranjang. "Kamu masih seperti dulu, iya Bal?" gumamku lirih.

Aku mengerti jika belum bisa sepenuhnya untuk mencintai Mas Iqbal. Namun ketika terjadi seperti ini, hatiku juga tidak baik-baik saja. 

Melihat jam yang hampir melewati tengah malam, aku memutuskan untuk mendinginkan pikiranku dengan sholat. Mencurahkan semuanya pada sang Pencipta dari pada memendamnya sendiri yang berakhir menjadi penyakit hati. Selesai sholat lumayan meredam pikiran negatif yang menghantui. 

Bukan malah menaiki ranjang, namun merebahkan tubuh di sofa yang langsung menghadap ke jendela. Tak membutuhkan waktu lama, aku pun terlelap.

Sayup-sayup lantunan Al-Qur'an terdengar, tanda akan memasuki waktu shubuh. 

"Eungh...." 

Suara erangan pria di atas ranjang memecah keheningan kamar. Tanpa membuka mata, tangannya meraba tempat di sampingnya. 

"On?" Suara serak khas bangun tidur menggema. Tangannya semakin aktif mencari, namun tidak ada. "On?" Ia tersentak langsung terbangun kala yang di carinya tidak ada.

"On, kamu dimana?" Matanya menyusuri kamar, alisnya mengerut ketika menemukan seseorang yang meringkuk di sofa. 

Segera ia beranjak mendekat, mensejajarkan tubuhnya dengan milik istrinya. Dengan penuh hati-hati, ia menyingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah ayunya.

"Kenapa tidur sini sih On," gumamnya sambil menikmati wajah dari perempuan yang di cintainya itu.

Perlahan tangannya mulai memposisikan untuk menggendong. Namun terhenti ketika akan diangkat mata istrinya terbuka, ia pun menurunkan kembali.

"Ke-kenapa Cal?" Hampir aku berteriak ketika tiba-tiba tubuhku melayang. 

Mas Iqbal mengacak rambutnya sendiri, lalu menghembuskan napas dan duduk di sampingku. "Kamu kenapa pindah disini, hem?"

Mataku memandang ke segela arah, tidak ingin menatap sang suami.

"Kamu gak nyaman seranjang sama aku?"

Aku menoleh menangkap sorot kecewa dari sang suami. Aku pun menggeleng keras, "enggak, bukan itu. Tadi kebangun karna ada telepon."

"Telepon? Siapa yang malem-malem telepon? Bang Dzarrin?"

"Bukan," sergahku cepat. Melihat kerutan di dahi Mas Iqbal, aku tahu beliau menuntut jawaban. "Gak tau siapa, dari ponsel kamu." Tanpa aku sadari ekpresiku berubah dingin. Aku beranjak menuju ke kamar mandi menghiraukan Mas Iqbal yang masih termenung di sana.

Di sela-sela menunggu adzan shubuh selesai berkumandang, ada suara langkah kaki mendekat. Mas Iqbal menempatkan diri pada sajadah yang posisinya berada di depanku. Tepat adzan selesai, Mas Iqbal mulai takbiratul ihrom-nya. 

Selesai sholat dan rutinitasnya, Mas Iqbal tiba-tiba berbalik posisinya pas di depanku lalu menatapku serius. Aku tidak tahu maksudnya apa, segera aku mengulurkan tangan. Mencium tangan beliau dengan penuh takdzim, Mas Iqbal pun turut menyentuh puncak kepalaku, mendoakanku.

Ketika akan melepaskan tangannya, Mas Iqbal justru menarikku dalam dekapan. Mengelus lembut punggungku. "Kamu marah iya?"

Kepalaku yang terbenam di dadanya menggeleng pelan. Benar 'kan aku tidak marah, hanya saja—

"Maaf iya Lun...." Suara Mas Iqbal berubah lirih dan berat. 

Setelah beberapa hari menikah dengan Mas Iqbal, aku mulai paham ketika Mas Iqbal dalam mode serius. Seperti sekarang ini beliau memanggilku dengan nama.

"Kamu pasti keganggu tidurnya gara-gara ponselku tadi," lanjutnya.

Alisku berkerut tidak suka. Jadi Mas Iqbal meminta maaf padaku karena itu?! Bukan karena siapa si peneleponnya?!

Aku mendengus kesal melepaskan dekapan suaminya ini. "Bukan karena itu."

Dahi Mas Iqbal tertarik keatas tanda tak paham. "Terus?"

Mempertimbangkan untuk jujur apa tidak. "Selain Safira, kamu ada lagi?" Tepat di akhir kalimat, aku menatap Mas Iqbal.

"Hah?"

Aku berdecak lalu beranjak. Hingga aku keluar dari mushola Mas Iqbal masih berdiam diri disana. 

Apakah bisa aku mengartikannya sebagai jawaban iya?

Ketika aku masih sibuk menguncir rambut di depan meja rias. Tiba-tiba Mas Iqbal datang lalu memelukku dari belakang. Dari pantulan cermin Mas Iqbal menyembunyikan wajahnya di bahuku.

"Kalau kamu masih berpikiran, aku masih seperti playboy or bad boy atau apalah itu waktu di Aussie dulu. Please, I hope to stop it." Kemudian Mas Iqbal mendongak, lewat cermin mata kita saling menatap. "I'm not like that. Please trust me."

Seketika hatiku gelisah. Aku telah salah menilai. 

Aku menyakitinya...

Segera aku beranjak lalu memeluknya. "Maaf, maaf."

"Gak ada Safira-Safira lainnya Lun. Aku bisa pastikan itu." Sambil menyambut dekapanku, tangan Mas Iqbal mengelus punggungku. "I like you so much Khaliluna," jeda sejenak. "Kalau kamu tadi menerima telepon dari perempuan. Itu hanya ngaku-ngaku aja. Salahkan Teh Della udah nyebarkan nomerku."

"Maaf, aku salah. Maaf...."

Dan aku baru teringat perdebatan antara suami dan kakak iparnya itu mengenai nomor telepon. Teh Della sangat terpaksa memberi nomor telepon Mas Iqbal pada seseorang perempuan, karena si perempuan itu selalu mengganggu kerja Teh Della akibatnya dia di tegur atasan.


🌻🌻🌻🌻

12-07-2023


SEPENGGAL DARI ANGAN season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang