PART 4

120 27 9
                                    


🌼🌼🌼🌼


Seat favorit adalah duduk di dekat jendela karena aku bisa melihat kerlap-kerlip tanda ada kehidupan di bawah sana. Menunjukkan bahwa kita memang mahkluk kecil lalu untuk apa kita bersombong diri.

Merasakan ada tangan yang menggenggam, aku menoleh.

"Makasih iya Lun."

Aku masih diam menikmati senyum tulusnya. Kemudian menatap sepasang mata coklat yang hanya ada aku di dalamnya. "Makasih untuk apa?"

Tiba-tiba Mas Iqbal mendekat, hembusan napasnya menyapu wajahku. "Makasih udah buat aku bahagia," bisiknya. Sedetik kemudian ada sesuatu lembut mengecup pipiku. Mendadak respon tubuhku kaku bahkan seperti tak berani untuk bernapas.

Hingga tangan Mas Iqbal mengusap bekas kecupan membuatku sadar. Ini pertama kalinya dan aku tidak tahu harus merespon apa.

"Maaf buat kamu gak nyaman."

Kepalaku mengangguk lalu menggeleng keras. Bukan seperti itu, hanya belum terbiasa saja. Karena selama ini belum ada lawan jenis bersentuhan fisik denganku kecuali yang mahrom saja. Apalagi sampai seintim ini.

Mas Iqbal terkekeh. "Berarti boleh lagi?"

Seolah masih terhipnotis sentuhan tadi, aku mengangguk pelan namun sedetik kemudian aku menggeleng keras karena sadar. Hal itu menimbulkan tawa lirih Mas Iqbal. Kedua pipiku memanas, aku membelakanginya sambil menutup pipi. 

Haduh! Malu!

Beliau membalikkan aku kemudian merangkulku hingga kepalaku menyentuh lengannya. "Kalau kamu ngerasa gak nyaman bilang aja iya?"

Aku mengangguk menikmati usapan lembut di puncak kepalaku. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu lalu mendongak, tatapanku jatuh pada rahang tegas yang di tumbuhi bulu tipis. Rasanya tangan ini gatal untuk mengelus.

"Aku tadi ketemu Gus Faaz," ungkapku jujur.

Mas Iqbal menunduk. "Kapan?"

Kelopak mataku turun menatap genggaman Mas Iqbal pada tanganku. "Tadi sewaktu mau ke Dek Zahra." Jariku bergerak mengusap punggung tangan Mas Iqbal. "Maaf iya." Aku menatap kembali pria di sampingku ini.

Tidak ada respon dari Mas Iqbal, aku jadi gelisah. Tatapan Mas Iqbal datar tanpa melihatku. Khawatir Mas Iqbal marah. "Tadi di suruh Umi nemenin mbak ndalem ngantar bubur. Aku gak tahu kalau itu buat Gus Faaz."

Kini Mas Iqbal menatapku namun masih belum ada respon. "Maaf iya, aku tadi gak izin dulu. Jangan marah." Nadaku berubah murung. Sejujurnya aku tidak pernah melihat Mas Iqbal marah dari dulu. Kata orang marahnya orang ramah itu menakutkan.

"Gus Faaz sakit?"

Kepalaku mengangguk tak berani menatapnya. "Iya sampai di infus." Hatinya kembali berdenyut kala mengingat kejadian beberapa jam lalu di ndalem Gus Faaz.

"Maaf iya?"

Tangan Mas Iqbal terangkat membenarkan kerudungku. "Enggak apa-apa Lun." Senyumnya mengembang, aku menatapnya mencari kebohongan lewat matanya namun nihil. "Aku gak marah kok." Berganti mengelus pipiku. "Yang aku khawatirin malah kamu. Kamu gak apa-apa?"

Masyaallah,

Dengan penuh keyakinan tanganku berganti menggenggam tangan Iqbal, kepalaku menggeleng. "Ada kamu." Mataku berkaca-kaca. 

Rangkulan di bahuku serta genggaman itu terlepas. Mas Iqbal mengernyit sambil melipat kedua tangannya di dada. "Kamu mulai gombalin aku iya On?"

Seketika aku menatap datar Mas Iqbal. Suasana yang tadinya hangat, bubar begitu saja. Aku menabok lengan Mas Iqbal lalu mendengus kesal.

SEPENGGAL DARI ANGAN season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang