RIZIK BUSTAMI 2

14 0 0
                                    

Aku masih belum tidur. Setelah 3 hari yang lalu gagal bertemu dengan Oomnya Jona, aku konsentrasi dengan kuliah dan pekerjaanku. Aku duduk lesehan diatas karpet jemariku lari diatas keybord lap top As*s ku. Aku sedang mengerjakan proposal skripsiku. Judul yang aku ajukan seminggu lalu disetujui. Fokus penelitianku ada pada perusahaan yang menampungku sekarang.

Jam menunjukkan 10 malam. Pintu apartemenku mendengung membuka. Jona datang dengan tubuh yang remuk redam. Bekas pukulan hampir merata disekujur tubuhnya. Wajahnya yang mulus hancur dengan lebam dan lunturan mascara. Air matanya mengering. Tubuhnya tidak bisa tegak dengan normal.

Aku diam saja. Kupapah Jona kedalam satu-satunya kamar tidur di apart ini. Kubukai pakaian tubuhnya yang mulai membiru ungu. Kuseka luka-lukanya dengan air hangat. Lalu kuoles dengan obat merah untuk luka terbukanya, dan gel pereda nyeri untuk luka-luka disekelilingnya. Kuangsurkan teh hangat. Kubantu memegangi. Kubantu minum paracetamol dosis tinggi. Kubantu ia memakai kaos longgar. Lalu kubantu membaringkan jona. Kuganjal tubuh belakangnya dengan guling hingga ia bisa bersandar, mencoba nyaman. Kuselimuti hati-hati.

"Besok, kalo elu udah enggak kuat lagi, Jon, elu ngomong. Gue ada kenalan calon dokter yang bisa cover elu sampai sembuh."

Jona hanya mengangguk. "Peluk gue, Ace..."

Manja seperti anak balita. Seperti ini. Jika kami sedang hancur. Kubelai rambut Jona. Sebentar kemudian ia tertidur. Kuambil gawai Jona diatas nakas. Kutekan kelingking kanan Jona dengan kemiringan sempurna. Kucari nama Rizik Bustami. Ada 5 nomor. Oke.

Kucuci bersih-besrsih tanganku. Kuikat rapi rambutku. Kuoles lipstick tipis-tipis. Kurapikan daster floral dengan dua tali tipis di bahu.

"Selamat malam Oom. Ingin bicara sebentar..." Kukirim pesan itu lewat portal Wa. Yang kudapatkan dikeluarga grup besar keluarga Jona. Pasti aktif kan, nomornya?

Kutunggui lama sekali. Ada kali satu jam. Sampai hampir 3 halaman baru ada notifikasi masuk dari nomor yang aku tunggu.

"Satu jam lagi."

Baiklah. Aku mulai merasa demam panggung saudara-saudara. Masih ingat jelas gimana perwujudan Sang Superman. Diantara semua pria berumur ini yang paling wow kurasa. Kubawa gawai Jona kedapur. Kubuka kaleng softdrink dan kesesap barang sebat.

Benar-benar sejam. Kukira bakal lewat telpon. Tapi Vidio Call. Kutarik napas panjang sekali. Kutarik sehirup asap rokok. Lalu kuangkat panggilan itu. Pria paruh baya dengan segala kesempurnannya, menopang dagu diatas jalinan dua tangan. Wajahnya dingin. Luar biasa tampan. Sialan. Sampai salah tingkah aku.

Beberapa detik, pria ini masih digestur yang sama. Akupun sama. Masih melihat pria ini dan masih asyik nyebat.

"Keluar sekarang," suaranya dalam. "Tunggu 10 menit di lobi. Gary akan menjemputmu." Lalu sambungan dimatikan dari sana.

Oke. Hoody kupakai. Kutenteng sling bag berisi semua keperluanku. Gawai Jona kutaruh kembali di nakas sebelahnya. Kutuliskan sesuatu di post it. Kutempelkan dikap lampu tidur. Berjaga-jaga jika aku belum kembali ketika dia sdh bangun. Kusiapkan air satu gelas besar dan beberapa obat. Kukecup dahinya dan berharap semua bakal baik-baik saja.

ACE THE SUGAR BABYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang