Chapter 04

151 32 15
                                    

"Maaf, tapi ...,"

Aku mengabaikan Boruto yang terus-terusan mengusik pekerjaanku. Yang benar saja, aku tengah melihat seluruh data yang baru saja dikirim dari pusat NASA di bumi, juga satu buah petunjuk tentang pengkhianat yang ikut menjalankan misi luar angkasa ini.

Kami baru saja transit dari Mars dan menaiki pesawat Mira HQ. Di Mars, kami menggunakan seragam full karena di sana oksigen sangat rendah dan bahkan kami berjalan masih sambil melompat-lompat tinggi karena gravitasinya yang sangat berbeda dengan di bumi, ataupun planet Polus dan kapal-kapal yang membawa kami. Karena kapal yang dirancang khusus inilah, seperti The Skeld dan Mira HQ yang memang telah dapat menyesuaikan gravitasi dan kadar oksigen yang baik untuk kenyamanan kami sebagai astronaut.

Kami semua sedikit kesulitan untuk sampai ke gedung di Mars guna bertemu beberapa orang dari NASA sekaligus transit. Di sana Boruto dan Sumire telah bebas dari posisi tersangka karena kami semua telah diperiksa secara menyeluruh.

Dan mereka bebas karena tak ditemukan secuil pun barang bukti atau sesuatu yang mengarah pada tragedi dan ciri-ciri dari seorang pembunuh. Toh, pakaian mereka juga bersih.

Maka dari itu, sekarang, Boruto malah jadi terus-terusan mengekoriku bak anak ayam yang setia turut berjalan ke mana pun mengikuti induknya. Dan ia kembali berceloteh ria, mengganggu semua kegiatanku.

"Sarada .... Dengarkan aku!"

Oh, ayolah. Dia merajuk! Boruto sudah tampak seperti perempuan, ditambah lagi penampilannya yang terbalut seragam astronaut pink itu benar-benar membuatnya tampak lucu-namun menyebalkan. Wajahnya ditekuk, aku ingin marah namun malah menyemburkan tawa tak tertahan hingga satu ruangan bergema oleh suaraku.

"Jangan tertawa, aku serius ingin bicara padamu," katanya, manik biru langitnya tampak tak gentar. Aku buru-buru berhenti dan berdeham sejenak sebelum menatapnya dengan tatapan yang tak kalah serius.

"Ada apa?"

Boruto mendekat, namun ia melewatiku dan duduk di atas brankar. Menunduk. "Mungkin ini gila, tapi ...," Ia menoleh padaku, tersenyum tipis kemudian mengembuskan napas dalam. "Sebenarnya aku sudah memendam ini sejak lama, aku takut untuk mengatakannya,"

"Katakanlah," kataku lembut. Aku mendekat kemudian duduk di ranjang di depannya. Tepat menghadap padanya dan menatap matanya.

Boruto diam. Seseorang masuk ke ruang medis, itu Mitsuki. Astronaut berseragam cyan itu menyapa sebelum berjalan menuju tempat saklar. Sepertinya ia akan membetulkan kabel listrik yang putus. Boruto tiba-tiba jadi gusar, aku mengerti keadaannya sebab kutahu ini rahasia dan ia menunggu Mitsuki selesai sampai ia pergi dulu sebelum kembali melanjutkan apa yang ingin diutarakan.

Aku kembali memusatkan atensi tepat pada irisnya yang tersorot pijar lampu putih terang di atas kami. Mulutnya terbuka, hendak bersuara namun tak kunjung berucap. Aku menghela napas. "Apa yang telah kau pendam selama ini? Katakan saja,"

"Kuharap setelah kejujuran ini, kau tidak akan menjauh dariku," Boruto menatapku, begitu lembut dan penuh kekhawatiran. Aku mengangguk. Ia membuang napas secara berlebihan dan tampak sekali gugup. "Aku mencintaimu sejak tiga tahun yang lalu, Sarada."

Terpaku. Aku tak dapat merasakan udara di sekelilingku. Mendadak napasku tercekat, bingung, terkejut, terpana. Boruto tiba-tiba tepat di depanku, wajahnya hanya berjarak lima senti dari wajahku yang mematung.

"I love you, Sarada."

Bibir dingin itu menyentuh bibirku, rasanya kelu. Aku masih belum dapat memahami situasi ini. Ia terlalu cepat, ciuman sepihak darinya lama-lama menuntut dan aku secara tak sadar malah membalasnya lebih dalam, kepala kami saling memiring agar hidung kami tak bertubrukan.

Di Antara KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang